.

Selera Makan

Rasa sakit menggelayut di dinding lambung

Oleh: Tito Erland S

Rasa sakit menggelayut di dinding lambung. Seperti ada ratusan silet didalamnya yang kemudian diterbangkan oleh tornado kecil sehingga memberikan efek sayatan yang memilukan. Saat itu hari sudah hampir habis, tinggal beberapa pukul lagi sudah berganti. Bukan tak sadar dengan rasa perih itu, namun karena bingung ingin memasukan apa untuk meredakannya.

Saat itu sudah hampir pukul sepuluh malam, namun saya belum pula makan, padahal saya menderita maag yang seharusnya tak boleh telat makan. Bukan tak ingin, saya hanya bingung ingin memakan apa. Saya sedang bosan menyantap hidangan yang tersaji di sekitar kosan. Saya malah memilih menghabiskan waktu dengan membaca buku sambil memikirkan akan memakan apa. Pukul sepuluh lewat, saya akhirnya keluar kosan, membeli telur penyet di warung lesehan.

Jika direnungkan hal demikian terjadi karena saya sedang tak berselera untuk makan makanan di sekitar kosan, saya lebih berselera untuk makan makanan yang berbeda dari biasanya. Intinya soal selera.

Selera, khususnya soal makanan, bukan begitu saja turun dari langit. Ada proses sosial dalam pembentukannya. Entah itu kultural maupun struktural.

Proses pembentukan selera manusia sehingga ia lebih menyukai makanan tertentu salah satunya karena faktor lingkungan. Sedari kecil manusia diberi makanan yang serupa sehingga menjadi terbiasa dengan hal itu. Contoh saja seorang manusia yang sedari kecil sudah terbiasa memakan nasi tak kan merasa kenyang jika hanya memakan roti. Begitu pula sebaliknya.

Begitu beranjak dewasa, seorang manusia semakin beragam seleranya, ada yang suka makanan tertentu ada yang tidak. Hal demikian merupakan proses kesadaran individu dalam mencoba makanan yang baru dijumpainya. Saat makanan yang baru itu sesuai dengan harapannya, ia akan mulai menyukainya dan mungkin akan membiasakan untuk memakannya.

Namun rupanya tak melulu lingkungan keluarga dan individu yang membentuk selera manusia, peran struktural juga bermain di dalamnya. Media televisi mempunyai peranan penting di dalamnya. Hegemoni tercipta lewat iklan yang menggiring manusia berpikir bahwa makanan yang enak adalah yang seperti di iklankan. Akhirnya seorang manusia pun dapat memakan makanan yang ada seperti di iklan dan termakan oleh iklan. Proses yang demikian juga pada akhirnya membentuk semacam strata sosial, bahwa pada akhirnya hanya sebagian saja yang “mampu” membeli makanan mewah. Seorang di pedalaman mungkin saja tak pernah berpikir bahwa ia mampu membeli spagheti di restoran mewah. Persoalan selera makan pun pada akhirnya menjadi pembeda sosial, antara yang mampu dan yang tak mampu.

Persoalan selera juga terkait dengan persediaan. Jika di suatu negara persediaan pangan yang melimpah adalah beras maka rakyat pun menjadi semakin terbiasa memakan nasi.

Selera juga tak mudah diubah. Seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa seorang yang biasa makan nasi maka ia lebih senang makan nasi ketimbang makanan pokok lainnya. Persoalan yang demikian membawa ekses pada wilayah politik, maka kemudian lahirlah istilah politik perberasan. Negara akan bingung jika stok beras menipis, sementara rakyat biasa makan nasi. Kekurangan stok beras akan memicu gejolak sosial terutama dari kalangan pekerja, karena jika beras mahal (karena kelangkaan) maka pekerja sangat mungkin untuk menuntut kenaikan gaji agar mampu membeli beras. Hal yang demikian bisa memicu demontrasi di kalangan pekerja. Karenanya pengusaha butuh beras murah disebabkan wataknya yang tak ingin mengurangi keuntungan sehingga kemudian munculah kebijakan impor beras, dan petani lokal lah yang kemudian tidak diuntungkan.

Persoalan “ketergantungan” pada makanan tertentu berusaha diatasi oleh negara kita, salah satunya dengan iklan yang muncul belakangan ini mengenai ada makanan pokok selain nasi, yaitu singkong, ubi, dan jagung. Di iklan tersebut juga disebutkan bahwa memakan makanan tersebut tidaklah menurunkan gengsi. Berhasilkah meyakinkan? Mungkin bagi sebagian kecil, sebagiannya tidak, saya sendiri pun masih lebih suka memilih makan nasi.

Soal selera memang pada akhirnya terkait dengan banyak hal dan sulit diubah. Jika ingin diubah tentu letaknya pada tekad individu. Jika mau, cobalah berpikir “saya lebih suka makan ubi dibanding nasi”, berulang-ulang. Mungkin berhasil membuat anda beralih ke ubi dan mulai meninggalkan nasi.

note: tulisan ini pernah dimuat di http://we-press.com/

Intrik

Intrik

Oleh: Tito Erland S

Ibarat Scar City, itulah kekuasaan. Menjadi sesuatu yang langka ketika tak dapat diraih semua. Untuk itu perlu perjuangan. Jelas, peraihnya hanya sedikit. Dengan demikian ada semacam kesepakatan sosial di dalamnya, bahwa harus ada yang terkomando, terkoordinasi, atau bahkan tersubordinasi. Kata lainnya ada penguasa dan ada yang dikuasai, ada “ si menang” dan ada “si kalah”.

Tampak menarik sekaligus dapat memuakan ketika ada drama perebutan, pembesaran dan pertahanan. Banyak motif bermunculan dalam rangka ketiganya, motif materi, kepentingan khalayak, atau sekedar gila sensasi karena kekuasaan bagi sebagian orang begitu menyenangkan.

Dalam sesi pertama saja –perebutan- sudah banyak hal yang tak sedap dipandang dan syahdu didengar. Sebut saja contohnya intrik politik dan kampanye hitam. Tak melulu yang demikian terjadi di level makro, pada tingkatan mikro pun kadang terwujud.

Hal demikian terjadi di kampus tetangga saya. Dari cerita teman, saya mendengar, di sana terjadi intrik dan kampanye hitam. Hal demikian terjadi dalam arena perebutan kekuasaan untuk menjadi pemimpin mahasiswa. Intrik terjadi layaknya perang dingin. Teknologi muktahir digunakan untuk melakukan semacam penekanan psikologis pada lawan. Sungguh “canggih”, pada tingkatan kampus sudah seperti itu. Kampanye hitam berbeda lagi modusnya, lewat selebaran yang menjelekan lawan dengan menghembuskan isu bahwa sang lawan mempunyai pemikiran yang nyeleneh.

Intrik dalam politik terjadi karena salah satu kaitannya dengan paradigma sang pelaku. Sang pengintrik dalam dunia perpolitikan bisa jadi mempunyai paradigma bahwa politik dan moralitas adalah dua hal yang terpisah, dengan demikian tak masalah etis atau tidak, yang penting adalah kemenangan. Padahal dalam budaya politik yang sehat, seharusnya cara tersebut tak layak, karena bagaimanapun juga demokrasi mempunyai aturan main dan politik mempunyai etika. Sungguh disayangkan, karena kultur politik yang diharapkan terbangun lebih baik, dicederai dengan hal seperti itu.

Intrik dalam politik sepertinya sudah biasa terjadi, meskipun tak dapat dibilang “benar”, apalagi ditingkatan kampus, hal yang demikian sepertinya menjadi sesuatu yang tak perlu.

Pun demikian dengan kampanye hitam. Tak pantas dipentaskan di arena politik. Tek elok jika kekuasaan dimenangkan dengan jalan menghembuskan isu negatif (apalagi yang berbau SARA dan ideologi) pada pihak lawan.

Pendidikan politik lebih tepat diketengahkan. Pendidikan politik dalam konteks ini yang saya maksudkan adalah memberikan kesadaran pada khalayak tentang fakta dari kepribadian dan track record calon pemimpin. Jadi bukan isu tak bertanggung jawab yang ditebarkan, tapi fakta kebobrokan calon pemimpin dari hasil “penelanjangan”. Hal demikian menjadi tepat karena tentu khalayak tak ingin punya pemimpin yang tak pantas.

Pada akhirnya saya melihat penegasan realitas, bahwa politik seringkali diwarnai dengan penyikutan. Sungguh disayangkan pada tingkatan mahasiswa saja sudah seperti itu, apalagi nanti saat sudah menjadi pemimpin di masyarakat?

Krisis

Krisis

Oleh: Tito Erland S

Mungkinkah Pak Jenggot benar?

Bahwa para ratu penghisap tenaga semut pekerja sedang menggali lubang kuburnya sendiri?

Entahlah, yang jelas mereka sedang kebakaran jenggot, namun bukan jenggot milik Pak Jenggot

Krisis sedang mengombang-ambingkan mereka, mengganggu kenyenyakan tidur

Tapi mungkin mereka masih bisa hidup dalam jangka lama

Apalagi kalau bukan sebab kebijakan para tikus yang mendukungnya

Seenaknya para tikus memberi mereka keju, padahal jelata lah yang sesungguhnya sangat membutuhkan

Ah, memang seharusnya para tikus itu dibakar bersama mereka

Agar hangus tak tersisa, tergantikan generasi baru

Erl dan Boneka Mungilnya

Oleh: Tito Erland S

“Rumahku”. Puisi terindah yang sinarnya pernah terpantul pada kedua bola mata ini, diberikan segenap oleh boneka mungilku yang nyata. Membuat diri ini menatap ke belakang sekaligus meniti langkah ke depan. Menyentuh titik kesadaranku dan mengangkat dari ketidaksadaran.

“Rumahku” hadir di pangkuan saat badai hampir menghancurkannya. Menjadi penyelamat dari cobaan yang maha dahsyat itu.

“Maaf aku hampir menjatuhkan rumah yang pernah kita bangun”, kataku.

“Tak apa Erl, aku mengerti karena rasa yang tersimpan di dada ini”, kata princess oger, boneka mungilku.

Ia tersenyum kepadaku dan kemudian butiran air masuk kedalam rongga mulutnya.

“Hapus air mata itu oger, kita susun lagi batu demi batu agar rumah ini dapat menjadi kediaman yang sempurna untuk kita. Jangan lagi kau bersedih, kerena kelak kita akan bahu membahu selalu menjaga rumah itu, mungkin selamanya”.

Lips Service

Oleh: Tito Erland S

“Saya ini ahlinya”. Ah kata-kata itu begitu manis terdengar. Ingin menunjukan kualifasi diri pada dunia bahwa dia orang yang tepat untuk dipilih. Pengakuan semacam jaminan masalah teratasi dengan keberadaan dirinya. Nasib sedang mujur baginya, terpilihlah dia menjadi pemimpin nomor satu di kota yang bagi sebagian dianggap nomor satu.

Kini alam sedang mengujinya, seolah ingin membuktikan ucapannya. Hujan datang, mengguyur kota itu. Banjir pun melanda. Tak terdengar lagi ucapan percaya diri “saya ini ahlinya”. Ucapannya terbukti tak terbukti. Hanya jadi pemanis kampanye, miskin realisasi. Rakyat menderita, di dera banjir langganan. Sungguh ironis, rakyat bukan hanya berlangganan koran tapi juga berlangganan banjir. Padahal hujan kali ini bukan siklus lima tahunan, tapi tetap saja. Padahal pula, sudah cukup waktu dia memerintah, tapi tak teratasi juga.

Sudah biasa, namun bukan berarti kewajaran, kampanye hanya semacam bagi-bagi bibir manis bagi yang mau dikecup. Sebagian bahkan bagi-bagi uang. Setelah terpilih? Itu tadi, miskin realisasi. Semua jadi seakan mudah terlupakan, mungkin karena rakyat yang pelupa, media pembuat lupa, atau kebijakan yang meniupkan virus lupa. Tapi mungkin juga si pembagi bibir manis itulah yang lupa atau seolah lupa.

Begitulah politik, istilahnya hanya lips service. Dengan dibantu banyak uang, koneksi, dan pandai menggunakan lips service, maka jalan menjadi pemimpin semakin mulus. Tentu tak semua, tapi mungkin hanya sedikit yang tidak.

Kekuasaan memang manis, menarik banyak semut petualang kepadanya. Tengok saja, sudah macam-macam tingkah polahnya. Ada yang tadinya mengaku aktivis tapi kemudian menyerah untuk mengabdi pada sistem bobrok. Ada pula yang haus citra bersih, tapi tak berbuat sesuatu yang kongkrit bagi rakyat, alasannya belum diberi tampuk kekuasaan. Sungguh klise, karena berjuang untuk rakyat tak perlu menunggu kursi nomor satu.

Tak heran banyak yang muak dengan politik. Tak urus, karena tak ada signifikansinya dalam kehidupan, mungkin begitu pikir sebagian orang.

Begitulah politik, penuh warna-warni. Dan saya sendiri mulai jenuh dengan warna-warni itu, untuk itu saya sementara menjadi putih saja. Terserah bagaimana dengan anda.

Selera

Oleh: Tito Erland S

Pernahkah kita melihat fenomena hysteria para gadis berteriak saat ada peluncuran buku puisi atau sastra atau mungkin saat pembacaannya? Mungkin sebagian pernah, tapi saya rasa sangat langka. Bandingkan dengan pertanyaan ini, pernahkah kita melihat hysteria para gadis berteriak saat ada launching album band terkenal atau mungkin saat mereka manggung? Jawabannya, hal itu sudah sering tersuguhkan dalam tayangan live di televisi.

Namun intinya tentu lebih dalam dari sekedar penggambaran sederhana yang saya suguhkan di atas. Kesemuanya adalah tentang apresiasi. Jika tak keberatan, mari kita bandingkan antara jumlah pengunjung sebuah konser musik dengan bincang-bincang membahas buku puisi atau sastra. Bandingkan pula antara betapa seringnya tayangan musik di televisi dan jika mungkin ada dengan tayangan pembacaan puisi. Lalu bandingkan kembali waktu yang ditempuh para sastrawan agar buku yang mereka luncurkan sebelum terkenal menjadi diterima masyarakat dengan band yang baru membuat telur album pertama tapi langsung terkenal. Oh, masih ada bandingkan lagi antara musisi yang (maaf) tak terlalu tampan namun digila-gilai wanita dengan penulis yang tak terlalu tampan yang tak digila-gilai wanita.

Kontras. Itu jawabnya. Tapi di sini bukan untuk menyalahkan selera masyarakat, karena selera adalah hak masing-masing. Tidak juga menyalahkan musisi atau penulis sastra. Saya sendiri penggemar keduanya. Namun yang saya soroti adalah permasalahan industri budaya yang (mungkin) secara tak sadar terdukung oleh sistem pendidikan.

Begini, saya kembali bertanya, pernahkah waktu sekolah kita diajari sastra? Atau diberi pekerjaan rumah agar membaca buku sastra? Seingat saya, sewaktu kecil saya hanya disuruh mengarang cerita, tapi tak terlalu dibahas mendalam. Selebihnya saya hanya diajari tata bahasa Indonesia sampai SMA. Pasca pekerjaan mengarang itu, tak ada lagi yang secara langsung berhubungan dengan sastra, pelajaran bahasa Indonesia lebih cenderung menjadi hapalan yang harus hapal agar mampu tersenyum bangga saat selesai mengerjakan ujian. Mungkin ada kajian teoritiknya, semisal tentang majas, tapi hal itu tak terbahas mendalam, tak diberi penjelasan bagaimana cara menggunakannya dalam penulisan sastra. Hanya diberi penjelasan bahwa (semisal) ada salah satu majas yang bunyinya “ayah ke kantor naik kijang”. Itu saja, sehingga murid kemudian hanya menghapalnya. Saya sendiri baru sadar kalau majas-majas itu ternyata dapat digunakan dalam penulisan sastra.

Menurut hemat saya, hal itu banyak sedikit mempengaruhi selera anak didik. Anak didik lebih terbiasa dengan melihat acara musik yang sering mucul di layar kaca dibanding dengan membaca novel yang tak dibiasakan oleh sistem pendidikan. Namun itu zaman saya SD sampai SMA dulu, entah sekarang.

Kekontrasan semakin dipertegas, dengan pembentukan industri budaya yang dimasifkan lewat layar kaca. Semakin tergiringlah masyarakat pada industri budaya yang tersuguhkan karena lebih mudah di dapat, dibandingkan dengan novel yang jika ingin menikmatinya harus mengeluarkan kocek (atau mungkin pinjam).

Walau begitu yang jelas saya hanya ingin menggambarkan fenomena ini, tak ingin menggiring selera, karena bagi saya jika anda tak menyukai salah satunya, itu tak jadi masalah. Mengutip kata salah seorang teman, “saya cuma punya gelisah tak reda dengan realitas keseharian”

Diana

Empat puluh hari pasca kematian kekasih hatinya, tak lagi pernaOleh: Tito Erland S

Empat puluh hari pasca kematian kekasih hatinya, tak lagi pernah haru biru menggerogoti hati Diana. Hidupnya hampir kembali normal. Tak seperti beberapa hari setelah kejadian itu, bayangan kekasihnya sering muncul menghantui tidur malamnya. Dia selalu takut akan kemunculan sosok kekasihnya, yang seolah-olah hidup dan menuntut kejelasan dari semua peristiwa yang terjadi.

Semua mungkin karena perasaan bersalah yang dideranya. Berawal dari sebuah keributan kecil, tentang keruwetan persimpangan hidup yang harus dipilih, hingga akhirnya berakhir di ujung belati. Kekasihnya mati. Di tangan Diana berlumuran darah pujaan hatinya. Ia benar-benar panik, zat-zat dalam tubuhnya bergejolak sehingga kemudian membentuk reaksi alamiah, sekujur tubuhnya kini dibanjiri dengan cairan hasil pembuangan. Sejenak ia terdiam, lalu menyudutkan dirinya di samping sebuah lemari. Kedua lengannya terangkat menutupi wajahnya. Dari matanya keluar jeritan emosi yang mengalir deras.

“Tidakkkk”

Setengah jam sudah Diana seperti itu. Kehisterisannya menutupi akal sehat. Akhirnya ia sadar, bahwa semua itu harus dibereskan. Tak boleh ada lain manusia yang mengetahuinya. Diana pun bangkit dari keterpurukan, lalu menggenggam kedua kaki kekasihnya, kemudian dengan sekuat tenaga menyeret tubuh itu kehalaman belakang. Dengan cangkul, ia menggali sebidang tanah. Entah mengapa meskipun hal itu tak pernah dilakukan, ia seperti seorang ahli, tak lama kemudian sebuah lubang menganga pun sudah selesai dikreasikan. Ia lalu menyeret tubuh itu ke dalamnya.

“Maafkan aku”, katanya sambil menutupi lubang dengan tanah.

Diana lalu kembali ke ruangan tadi, membersihkan sisa jejak.

Semua sudah berakhir, pikirnya.

Beberapa hari sesudah kejadian itu, Diana takut untuk keluar rumah. Ia takut keluarga sang pria mencari kekasihnya itu. Terlebih lagi jika polisi sudah turun tangan menyelesaikan kasus itu. Tapi sudah dua minggu berlalu, semua tak jadi kenyataan. Entah mengapa sepertinya tak ada yang mengkhawatirkan keadaan kekasihnya itu. Keluarga kekasihnya itu bahkan tak menelepon Diana untuk menanyakan kabar.

Hari ketiga puluh, ia sudah berani keluar rumah. Bayangan wajah tampan kekasihnya tak lagi terlintas dalam kehidupannya. Sampai kemudian semua itu terjadi, hari keempat puluh, saat ruh akan terbang selamanya dari bumi, di sebuah jalan ia melihat kekasihnya itu, lewat di depannya dan seolah begitu nyata.

Ia tampak hidup, batin Diana.

Kekasihnya itu berjalan melewatinya, tapi tak mengenalnya. Tak sedikitpun matanya melirik ke arah Diana. Diana sendiri pun tak berani menatapnya langsung, hanya melihat lewat kedua ujung matanya.

Melihat semuanya itu, Diana tak tahu harus berbuat apa. Ia lalu segera berlari kerumahnya. Di dalam rumah terbayang semua kejadian itu. Perasaan berkemacuk dalam dadanya, antara perasaan takut dan anehnya perasaan senang. Diana lalu meracau sendiri, tertawa keras-keras lalu kemudian menangis. Diana larut kembali dalam memori yang menyiksa jiwa itu.

Mind Your Own Business!!!

Oleh: Tito Erland S
Sepatah kata pun tak terucap untuk sebuah perlawanan, ketika bau mulut busuk mencampuri eksistensi pribadi. Tak ingin berperang karena tak ada kalkulasi keuntungan yang masuk akal, doktrin luhur Sun Tzu terikuti olehku. Berawal dari rumah makan, saat meminta lebih, tentu dengan kesanggupan membayar. Saat itulah pemilik mulut busuk hadir mengacau. Dia bukan pemilik rumah makan, bukan pula petugas jaga, hanya pengunjung yang tak dikenal. Dia mencampuri urusan ku dengan sang petugas jaga. Mengatakan bahwa bisnis rumah makan akan merugi jika semua pengunjung meminta lebih. Ha? Dia pikir dia siapa? Dia bukan pemilik rumah makan itu, jadi itu bukan urusannya. Lagi pula sang petugas jaga pun tak protes sedikitpun. Kenapa dia kemudian yang merasa berkewajiban untuk mengkalkulasikan untung rugi? Tingkah polahnya tak berhenti. Saat sang petugas jaga menyidukan nasi untukku, dia kembali ikut campur. Jangan terlalu banyak, katanya, nanti tak habis, sayang. Uh, darah ini mendidih mendengarnya. Memangnya dia tahu apa? Memangnya ini perut siapa? Perutku atau perutnya? Siapa yang lebih tahu dan lagi kenapa ia merasa berkewajiban untuk mencampuri urusan aku dengan sang petugas jaga? Bukan, dia bukan siapa-siapa, dia hanya pengunjung, yang tak ada kaitan dalam keuntungan atau kerugian bisnis rumah makan itu. Lalu kenapa dia ikut campur? Entahlah, mungkin sudah tabiatnya. Mungkin ia merasa rasionalitasnya lah yang terbenar sehingga semua harus sesuai dengannya, meskipun itu bukan urusannya. Tapi sekali lagi kubiarkan saja, tak ada kalkulasi keuntungan yang masuk akal jika berperang. Akhirnya dia pergi, meninggalkan aku dengan sejuta kegondokan melihat tingkah polahnya yang senang ikut campur. Makan pun tak senikmat biasanya. Selera menjadi terkikis dengan kejadian itu. Kataku dalam hati, mind your own business!!!

Kembang dan Kumbang

Kembang dan KumbangOleh: Tito Erland S

Bagi. Diartikan bukan sebagai untuk. Mendekati makna sebagai tanda dalam matematika, namun jauh lebih dalam dari itu dikontekskan pada ranah sosial, khusus lagi perjalanan hidup dua insan. Dalam ranah itu bagi mendapat imbuhan “ber”.

Metafora terangkai penggambar perjalan kisah itu. Alkisah rajutan terjalin antara kembang dan kumbang. Suatu saat kepakan sayap kumbang menghantarkannya pada kembang. Saat ia akan meminum madu dari kembang, kembang menutup mahkotanya.

“Aku tidak ingin sedang berbagi madu denganmu”.

Kumbang terkejut dan kemudian marah pada kembang. Namun rupanya kembang punya alasan.

“Ini adalah madu ku. Dan kau tak berhak marah jika ku tak membaginya denganmu”

Kumbang terheran dengan semua itu. Apa kasih tak berarti berbagi?, pikirnya.

Kumbang lalu teringat cerita kembang tentang dua insan lain. Dua insan itu terlibat kisah yang tak habis pikir baginya. Mereka melakukan semacam traktat sebelum memasuki bahtera kehidupan bersama. Isinya tak jauh dari kesepakatan agar materi tak jatuh ke tangan yang satu jikalau harus menemui gunting pemisah jodoh. Kumbang kembali berpikir mengingat cerita itu, apakah tak ada milik bersama? Apakah yang ada hanya milik pribadi? Apakah kata berbagi menjadi hilang dengan keegoisan individu?

Menurut pak jenggot, sang biang keonaran, sejarah manusia bergerak karena adanya sistem kepemilikan pribadi. Hal tersebut perlahan menghilangkan konsep kesukarelaan dalam berbagi. Kemudian menjadi bermasalah ketika termonopoli sementara yang lain tak berkesempatan memiliki. Namun ada tesis yang mengatakan hal itu tak terjadi pada hubungan dua insan. Di dalamnya masih ada keluhuran berbagi. Dus, semua itu terlindas oleh roda zaman, ketika moderenitas memutarbalikan kesemuanya, tesis pun tak lagi benar secara absolut. Ilmu hitung-menghitung menjadi warna dalam hubungan dua insan. Kepemilikan bersama menjadi semakin absurd. Jangankan itu istilah berbagi pun menyempit.

Akhirnya kasih tak lagi seindah kisah yang dirangkai Gibran. “Kasih adalah berbagi hati bukan materi”. Hal itu yang terpancar jelas dari wajah sang kembang dan membuat kumbang terlena dalam haru biru.

Mungkin kasih hanya urusan hati, bukan materi, jadi yang perlu dibagi hanya hati saja. Ah, tapi layakah itu?