Oleh: Tito Erland S
Cerita I:
Topeng mungkin bukan hanya sekedar benda, tapi merupakan simbol. Topeng mungkin bukan hanya sekedar sarana permainan bocah-bocah, layaknya topeng spiderman yang terkadang terlihat di pakai mereka. Bukan hanya itu, mungkin, topeng adalah penutup ketidaksempurnaan.
Manusia memang tidak ada yang sempurna, no body perfect, meskipun ia adalah mahluk yang paling sempurna. Selalu saja ada “kecacatan” dalam dirinya, keborokan yang telah menyatu dalam kehidupannya. Kecacatan dan keborokan disini diartikan sebagai berbeda (kalau tidak mau dikatakan menyimpang) dengan konsep kebenaran versi khalayak, kebenaran dalam balutan paradigma modern. Itu mengapa banyak kalangan menilai manusia tak lepas dari dosa.
Ketidaksempurnaan itu yang membuat sebagian membalut wajahnya dengan topeng, atau mungkin lebih tepat membalut jiwanya dengan topeng, sekedar menampakan sosok sempurna pada dirinya. Dalam hal ini, hidup menjadi semacam panggung sandiwara, sebuah kepura-puraan.
Namaku adalah Santi. Umurku 22 tahun. Belakangan aku resah pada realitas yang terjadi di sekitarku. Sudah lama sebetulnya ada pangkal permasalahan ini, namun baru belakangan ini kusadari, membuatku bertanya pada diriku sendiri. Semua ini sebetulnya berkaitan dengan adikku. Namanya adalah Sari, umurnya baru 16 tahun, usia yang penuh dengan gelora. Sari mempuyai kekasih impian, kekasih yang dicintainya sepenuh hati, sang idola. Namun sang idola bukan hanya idola Sari namun idola khalayak, karena dia memang idola “sesungguhnya”, sang superstar. Sari sudah lama mengidolakan sang idola, sejak pertamakali perjumpaannya di layar kaca, itu satu tahun lalu. Sang idola memerankan peran sebagai pria idaman para wanita, pria yang baik hati, setia dan tampan.
Peran yang membuatnya digila-gilai para wanita. Tak hanya di dunia hiperealitas, namun dalam dunia nyata. Terlebih lagi dengan pengakuannya di berbagai media bahwa ia adalah seorang yang masih sendiri, tak punya kekasih, dan sedang mencari pendamping hidup, maka banyak wanita yang mengharapkan tetesan kasih sayang darinya. Semua itu kupercayai saja, sampai suatu saat.
Saat itu saat dimana di suatu siang yang terik, saat dimana aku sedang pergi ke pusat perbelanjaan di Singapur bersama seorang teman, aku melihatnya melintas tepat di depanku. Namun ia tak sendiri, bersama seorang wanita yang dirangkulnya mesra. Kuikuti mereka, sekedar ingin tahu. Temanku tak keberatan, ia ikut saja apa yang kulakukan. Sang idola tampak sesekali bercanda dengan wanita yang dirangkulnya, sesekali bahkan ia mencium kening sang wanita. Aku teringat baru beberapa hari lalu, ia menjawab masih saja sendiri, ketika ditanya oleh wartawan. Namun mengapa sekarang ia merangkul seorang wanita yang tampak bagiku seperti kekasihnya?
Pertanyaan itu menggangguku, namun belum kuceritakan pada siapapun, termasuk pada adikku, orang yang mengidolakannya. Beberapa hari paska kepulanganku dari Singapur, aku diajak oleh teman yang sama untuk berplesir ke Bali. Jangan heran, bersenang-senang adalah pekerjaanku sehari-hari, tak masalah toh aku orang kaya.
Di Bali aku menginap di sebuah hotel mewah. Di situ pulalah aku mengalami perjumpaan kedua kali dengan sang idola. Ia tampak bersama seorang wanita, namun bukan wanita yang waktu itu. Wanita ini tampak lebih seksi dari segi pakaiannya, ia memakai celana yang sangat pendek, dan bajunya sedikit terbuka, memperlihatkan belahan dada sang wanita.
Kamar sang idola ternyata bersebelahan dengan kamarku. Aku melihat mereka berdua berangkulan mesra, dan memasuki kamar sang idola secara bersamaan. Entahlah apa yang dikerjakannya di dalam, tapi aku punya dugaan layaknya dugaan kebanyakan orang jika berada dalam situasi ini.
Keesokan harinya, entah kebetulan atau kah takdir, aku berjumpa kembali dengan sang idola. Ia tampak sedang santai berjemur di pinggir pantai dengan sang wanita. Aku berusaha tak memperdulikan keadaan itu, tapi entah mungkin karena keingin tahuan ku yang besar, aku sesekali mencuri pandang ke arah mereka, dan pada pandangan ke lima aku melihat bibir mereka bercumbu mesra. Bibir pantai menjadi saksi bisu pertemuan kedua bibir mereka yang saling melumat.
Rangkaian pertemuanku dengan sang idola membuatku bertanya-tanya sampai saat ini, berdialog dengan diriku sendiri. Haruskah aku memberitahukan kejadian ini pada para idolanya atau paling tidak pada adikku? Haruskah ku buka topeng sang idola dan menunjukan keborokannya yang dapat menghancurkan reputasinya sekaligus menghancurkan impian para wanita yang mengharapkan cintanya? Haruskah kubiarkan ini, adikku terhanyut dalam bayang semu dalam keadaan mencinta? Haruskah pula kuhancurkan rangkaian cinta yang telah lama terukir indah di hati adikku dan merusak hari-harinya?
Cerita II:
Namaku adalah Bagas. Aku adalah sang idola. Aku digila-gilai banyak wanita. Aku sangat tampan, tubuhku atletis, terdapat lekukan-lekukan otot pada perutku yang menunjukan kelaki-lakianku.
Pada media, aku mengaku tak punya kekasih dan berkata sedang mencari. Tapi itu bohong. Aku hanya berpura-pura. Aku memakai topeng dalam menjalani kehidupanku, agar para wanita yang mengidolakanku tak lari. Sebetulnya aku mempunyai banyak kekasih. Jumlahnya tiga orang. Mereka tak saling mengenal, aku pandai mengatur jadwal, dan mereka mau mengerti atas latar belakang pengakuan ku pada media bahwa aku tak memiliki kekasih. Dan entah karena keberuntungan atau apapun itu, aku tak pernah kepergok media.
Hidupku sangat bahagia dibalut kasih ketiga wanita itu. Setiap ada kesempatan aku berusaha bercinta dengan salah satu dari mereka. Bercinta dalam arti yang sempit, melakukan hubungan badan. Aku sangat menikmatinya. Menikmati setiap sentuhan mereka, menikmati setiap aroma tubuh mereka.
Hidupku berjalan lancar. Sampai suatu hari mimpi itu datang. Mimpi tentang perihal yang kulakukan adalah suatu kesalahan dan harus disudahi. Tak hanya sekali mimpi itu datang, kerap kali mimpi itu datang mengganggu tidurku sampai saat ini. Aku jadi tak tenang dan mulai berpikir tentang tindakannku itu.
Beberapa hari ini tak kutemui salah satu dari ketiga kekasihku. Mereka mencoba menghubungiku tapi kuacuhkan. Aku sedang sibuk. Sibuk merenungi diri. Apakah ini akibat kesalahanku? Namun apakah yang kulakukan itu suatu kesalahan? Haruskah ku sudahi ini dan memberitahukan pada ketiga kekasihku tentang hal yang sebenarnya? Tapi bukankah itu berarti menghancurkan reputasiku karena bisa saja salah satu dari mereka membocorkan ke media? Tak hanya itu, bukankah itu berarti menghancurkan rangkaian cinta yang telah terukir indah dalam hati ketiga kekasihku dan merusak hari-harinya? Bukankah itu pula berarti menghancurkan rangkaian cinta yang telah terukir indah dalam hati para idolaku dan merusak hari-hari mereka? Haruskah?