.

Dinamis

Oleh: Tito Erland S

Materi bergerak, tak diam. Selalu ada perubahan di dalamnya, kalaupun diam ia hanya menunggu untuk berubah, menunggu saat berevolusi. Demikian pula dengan manusia, selalu ada perubahan mengiringi perjalanan kehidupan seorang manusia.

Dengan begitu ilmu hitung menghitung tak selalu tepat mengkalkulasikan manusia. Hipotesis kuantitatif tak lagi mendapat kursi utama.

Manusia adalah mahluk dinamis. Seringkali ada dialektika dalam pemikiran seorang manusia. Maka tak heran jika kebenaran hari ini bagi seorang manusia dapat berubah suatu ketika. Kebenaran pun jadi tak absolut. Berkembang seiring jaman, seiring dialetika dari para intelektual, manusia yang berpikir.

Dengan begitu peradaban menjadi berkembang. Bayangkan jikalau semua manusia adalah mahluk yang stagnan secara pemikiran, maka mungkin kita tidak mengenal mazhab Frankfurt, hasil perkembangan dari marxisme. Kita pun mungkin tak kan mengenal posmoderenisme yang mempertanyakan rasionalitas modern, menggugat kebenaran tunggal.

Dengan kedinamisan manusia, maka lahirlah ilmu-ilmu pengetahuan yang berguna bagi alam dan manusia. Berawal dari filsafat, dan kemudian dipertanyakan sehingga menghasilkan sesuatu yang baru.

Saya teringat perbincangan dengan seorang teman ketika membahas seorang tokoh. Saya tanyakan pada dia, termasuk dalam ranah manakah pemikiran sang tokoh. Teman saya menjawab, bahwa sang tokoh tak ingin diklasifikasikan demikian. Saya kemudian mengerti, bahwa sang tokoh tentu mempunyai kecerendungan pemikiran, mempunyai pandangan tentang kehidupan, namun ia tak ideologis. Artinya sang tokoh mungkin tak ingin diklasifikasikan termasuk kiri atau kanan, positivisme atau non positivisme. Ia adalah gabungan dari berbagai pemikiran, dari berbagai paradigma, yang kemudian dia leburkan menjadi jalan pikirannya, caranya memandang hidup. Di situlah sisi dinamis sang tokoh, ia tak stagnan, tak terbalut selubung ideologis.

Tentu saya tak menggugat para manusia yang mempunyai pemikiran ideologis, bagaimanapun juga itu adalah hak. Hak untuk berpikir merdeka, dalam hal ini lebih berarti merdeka untuk berideologi atau pun tidak.

Lalu apakah saya berideologi? Entahlah anda ingin mengetahuinya atau tidak, tapi jawaban saya tidak. Saya lebih suka berpikir menurut kehendak saya, menurut nalar saya, menurut rasionalitas saya. Jadi tak heran suatu ketika saya menulis secara serius, suatu ketika saya menulis dengan gaya asal, tak tertata. Apakah saya labil? Entah, saya lebih suka menyebut diri saya dinamis.

Seorang teman pernah berkata saya sedang mengalami pencarian jati dari, tak punya ideologi atau paling tidak, tidak ada kebenaran kaku dalam pikiran saya. Mungkin saja saya begitu, karena bagi saya materi selalu bergerak, kebenaran berkejar-kejaran dengan waktu sehingga menjadi wajar saya mengikuti yang lebih benar hari ini atau kebenaran di kemudian hari. Dengan begitu kebenaran kaku tak ada, atau mungkin ada sedikit saja dalam kepala saya. Selebihnya saya adalah perubahan, mengikuti tuntutan jaman dengan tak menjadi pengekor. Selebihnya saya adalah manusia yang mempertanyakan kebenaran kaku itu, kebenaran yang melanggengkan ideologi. Bukankah lebih baik begitu, menjadi manusia dinamis daripada mengalami stagnasi dengan kebenaran yang bisa jadi sudah usang?

0 komentar: