.

Renungan dalam Kesendirian

Oleh: Tito Erland S

Sendiri. Kesendirian. Saat dimana hanya ada engkau dan keheningan. Saat bijak untuk berpikir. Saat dimana engkau bisa merenung mendalam, merenung dengan aroma kebebasan.

Bebas. Manusia dikutuk dengan kebebasannya, begitu kata Sartre. Kebebasan untuk berpikir, kebebasan untuk berkehendak, karena manusia adalah ĂȘtre-pour-soi, mampu menentukan esensinya sendiri.

Kesendirian dan kebebasan. Dua kata yang seolah dapat melebur menjadi satu, menjadi keidentikan. Dalam kesendirian terdapat kebebasan. Engkau dapat bebas bertanya tentang segala sesuatu, tanpa harus takut pada daya magis hegemoni, tanpa harus takut terkena tongkat bambu represi pemikiran. Apapun bebas kau lontarkan, tanpa perlu takut, karena kau berdialog dengan dirimu sendiri, dengan kebijakanmu sendiri.

Engkau bebas mempertanyakan yang kau yakini selama ini. Mungkin saja salah. Mungkin saja jika ada hal yang kau perjuangkan itu adalah suatu kesia-siaan. Mungkin saja jika kau mencita-citakan revolusi, itu hanyalah revolusi kekanak-kanakan.

Bertanyalah. Mengapa mesti takut. Kau tidak akan dipersalahkan siapapun. Karena kau sendiri, tak ada yang lain disekitarmu. Bertanyalah. Bertanyalah. Karena jika yang kau yakini adalah benar, kau tak perlu takut untuk mempertanyakannya, sebab kebenaran tetaplah kebenaran walau dihujami berjuta keraguan.

Puisi tentang Laut

Malam hari, saat bintang gemintang mulai mengerlingkan sinarnya

Oleh: Tito Erland S

Malam hari, saat bintang gemintang mulai mengerlingkan sinarnya pada manusia-manusia bumi, aku terduduk sendirian di pinggir pantai. Malam yang tak begitu gelap karena sang bulan menemani kesendirianku dengan sinar penuhnya. Pada hamparan pasir pantai, kogeraskan jari jemariku membentuk suatu lukisan. Namun air pasang dan deburan ombak segera menerjang hasil karya itu. Meluluhlantahkannya sehingga kemudian tak berbentuk.

Aku terdiam melihat semuanya, menyesali keadaan yang mengharu birukan hati. Tak berlebih, karena bagiku setiap karya terbuat dari seuntai jiwa yang terolah.

Kucoba kembali melukiskan hal yang sama, tapi kemudian sang ombak pun kembali lagi, seakan menantang dengan segala keangkuhannya. Ataukah sebenarnya ini adalah kebodohanku, yang congkak menantang alam, berharap sang laut mau menyapa hangat buah jiwaku. Harapan yang sesungguhnya timbul sebab laut pernah melakukannya, menyapa hangat lukisanku saat ia tenang. Namun laut kini berbeda. Ia seolah membenciku dan karyaku. Aku ingin semua seperti dulu. Tapi entahlah apa itu dapat mewujud kembali. Kini ku hanya termenung, sendirian dalam keautisanku.

Cerpen tentang Oposisi Biner

Kau salah-kau benar, kau tampan-kau jelek, kau modern-kau tradi

Oleh: Tito Erland S

Kau salah-kau benar, kau tampan-kau jelek, kau modern-kau tradisonal, kau modis-kau kuno. Oposisi biner itu terus mengelayut dikepalaku, menusuk-nusuk saraf otak. Muak jadi dibuatnya.

Sejak dahulu aku dan para manusia lainnya dijejali dengan sampah demikian. Dijadikan robot yang tak dapat berpikir sendiri dan hanya menerima titah-titah suci dari sang tuan. Tak menjadi soal ketika aku masih kanak-kanak, namun kini aku telah dewasa, dapat berpikir sendiri, dapat menentukan mana yang baik untukku dan mana yang tidak, tetapi tetap saja petuah moralitas itu selalu menghujami tubuhku, menggangu eksistensi pribadiku.

“Gus, keluar dong jangan dikamar mulu, ga baik”, panggil seorang teman.

Ah, sial, batinku. Apa urusan dia jika aku sering berdiam di kamar. Tahu apa dia tentang apa yang kukerjakan sehingga kemudian merasa pantas menilai mana yang baik untuk ku. Ku diamkan saja panggilan temanku itu. Aku lebih memilih melanjutkan khyalanku tentang oposisi biner.

Oposisi biner, ya oposisi biner, seperti yang dilakukan temanku, membedakan mana yang baik dan mana yang tidak, bahkan kemudian mencampuri eksitensi pribadi. Padahal bagiku manusia dewasa layak mempertanyakan ulang perihal kebenaran. Manusia dewasa layak mempertanyakan ulang tentang mitos kecantikan dan ketampanan, tentang yang modern dan tidak, dan segala hal lainnya. Karena manusia dewasa sudah dapat berpikir menggunakan akalnya sehingga kemudian dapat menentukan jalannya sendiri. Karena segala sesuatu yang tampak baik dan buruk hari ini adalah jalinan makna yang dibentuk dalam suatu “perbincangan”, di mana didalamnya terdapat hukum “siapa yang berkuasa dia yang menentukan”

Sangat pantas ketika seorang individu menghancurkan pembeda baik-buruk dalam konteks universal. Sangat pantas ketika seorang individu menciptakan baik-buruk versinya sendiri dengan satu catatan penting tak menggangu eksistensi lainnya.

“Bagus, keluar dong, masa cowok di kamar mulu”, panggil temanku yang rupanya belum menyerah.

“Suka-suka gue kali”, ku jawab itu dengan keras, mengakhiri usahanya membujukku untuk keluar.

Seni dan Sastra

Oleh: Tito Erland S

i suatu malam, saya mengikuti suatu diskusi. Tak disengaja, karena kedatangan saya lebih karena panggilan seorang teman. Setelah di ikuti, ternyata cukup menarik. Temanya tentang sastra dan membahas seorang pengarang.

“Seni adalah untuk keberpihakan”, kata salah satu peserta disukusi. Seni di sini tentu merujuk pula pada sastra.

Pada titik tertentu saya sepakat, pikir saya.

Dia melanjutkan.

“Seni harus di angkat dari realitas sosial”.

Apakah harus seperti itu, pikiran saya mulai memberontak. Lalu bagaimana seandainya saya mau membuat cerita kalau saya bisa terbang? Tidakah itu karya seni juga.

Dia tak mendengar pikiran saya dan terus melanjutkan.

“Seni tak mengapa mengangkat kehidupan privat, semisal cinta, tapi tak pantas di publikan, karena itu masalah privat bukan perkara publik”

Ah, saya mau membantah, tapi nanti saja, masih bingung merangkai kata yang tepat.

Akhirnya peserta lain menanggapi.

“Jadi persolannya adalah industrialisasi terhadap karya yang mengangkat kehidupan publik?”

Yang di debat pun menjawab.

“Bukan tapi persolan privat yang di publikan”.

Diskusi berlanjut. Teman yang satu itu masih tetap dalam pendiriannya, dan saya masih tetap dalam keberdiaman. Diskusi pun melayang pada suatu cerita bahwa seni yang mengangkat kehidupan pribadi ternyata dapat mempengaruhi perilaku. Diceritakan ada penelitian yang menyebutkan, sebagian pelaku bunuh diri mendengarkan lagu putus cinta atau kesedihan sebelum melakukan aksinya. Ada beberapa peserta lain yang menanggapi komentar, dan bola diskusi pun semakin bergulir melindas sub tema kecil lainnya yang terkait. Akhirnya saya pun ikut nimbrung di tengah perbincangan.

“Bagi saya seni adalah kebebasan. Tak harus satu. Tak harus seni itu untuk keberpihakan. Seni itu bebas”. Mungkin terdengar sederhana, tapi itu yang saya yakini.

Saya melanjutkan menanggapi perihal seni yang mempengaruhi perilaku.

“Tak selamanya manusia ditentukan oleh struktur. Manusia mempunyai nalar yang dapat mencerna makna yang terkandung dalam seni. Tidak dapat disimpulkan deterministik seperti itu, bahwa sebagian seni “menentukan” pengaruh buruk pada perilaku. Manusia dapat berpikir dan memilah-milah tindakannya termasuk menikmati dan memaknai suatu karya seni.”

Diskusi berlanjut. Sampai pada akhirnya tak ada suatu kesimpulan karena tiap peserta mempunyai keunikan cara pikir sendiri. Sekitar pukul 00.30 kami membubarkan diri.

Sepeda Motor

Oleh: Tito Erland S

Rasa kaget belumlah hilang, kemudian menjadi bertumpuk ketika menyaksikan reaksi seorang teman. Tubuhnya seolah terpental di terpa terjangan gelombang udara yang merambat dari laju kencang sepeda motor.

“Jantung gw rada lemah To”, kata dia menjelaskan reaksi tadi.

Oh begitu, batin saya.

Lembaran cerita dibuka ketika saya dan seorang teman sedang duduk santai di sebuah bangku panjang, terbuat dari kayu dan sengaja di letakan di muka sebuah warung makan. Saat itu kami sedang menunggu teman lain datang, mau ada rapat katanya, namun tepat pukul 20.30 yang ditunggu belum pula datang. Pun begitu, kami setia menunggu sembari ngarol ngidul bercakap, mengisi kosongnya waktu. Di tengah hangatnya perbincangan, kami melihat sepeda motor yang dilaju dengan kencang dari arah pertigaan lampu merah. Dia memacu gasnya sehingga mengeluarkan kebisingan yang memekakan, membuat saya terkaget dan begitu pula dengan teman saya.

***

Tak sekali, entah sudah kian kali keberapa mata ini menyaksikan tingkah polah serupa. Bak seorang raja, pengendara memacu motornya dengan kecepatan tinggi, seolah jalan miliknya pribadi. Hal tersebut tampaknya sudah menjadi tren pada sebagian kalangan. Pertanyaan muncul di benak saya, mengapa yang demikian dapat terjadi?

Saya pun mencoba meraba-raba mencari jawaban. Asumsi pertama saya adalah pengaruh media. Tayangan media terkadang dapat memberi pengaruh terhadap perilaku. Masih segar dalam ingatan ketika menyaksikan tayangan berita perihal anak kecil yang terluka, tak sengaja dibuat saat mengikuti adegan tayangan gulat yang sempat semarak. Tak hanya satu, tapi beberapa. Menandakan begitu kuat hegemoni media terhadap perilaku manusia. Akhirnya setelah protes muncul, tayangan pun terhenti. Orang tua pun lega, tak terlalu khawatir sang anak akan mengikuti kesalahan “temannya”. Itu hanya satu contoh, yang menggambarkan betapa kuat media membentuk tingkah polah manusia. Di tangannya, hiperealitas yang tersajikan dapat berubah menjadi realitas ketika sampai di wilayah penonton. Yang berlebihan di ikuti karena merasa suatu kenyataaan.

Bisa pula demikian halnya ketika para pengendara yang ngebut terpengaruh media. Sinetron dan film yang menampilkan cerita tentang kebut-kebutan dapat membawa persepsi bahwa yang demikian merupakan sesuatu yang mengasyikan dan mungkin pula sesuatu yang keren. Padahal adegan tersebut tentu dilakukan oleh orang yang sudah ahli dan dipersiapkan semaksimal mungkin agar tak melukai dirinya maupun orang lain. Namun tampak seolah nyata, dan dapat memberi pengaruh pada penontonnya sehingga kemudian mengikutinya.

Begitu pula dengan iklan. Para pengusaha sepeda motor mencoba memasarkan produknya melalui iklan, dimana ditampilkan bahwa produknya dijamin dapat melaju kencang. Pemasaran dengan visualisasi demikian merupakan strategi para pemilik kapital untuk meningkatkan nilai tambah, menjadikan komoditas tanda makin gencar. Pun demikian hal tersebut membawa efek pada konstruksi budaya dimana seperti sinetron dan film, pengendara yang melaju motornya dengan kencang adalah sesuatu hal yang keren dan yang demikian dapat terikuti oleh para audien “pasif”.

Namun tak semua demikian. Tak semua pengendara yang ngebut karena terpengaruh media. Mengutip kata seorang teman “manusia bukanlah matematika”, artinya kurang lebih manusia tak dapat disama ratakan seperti bilangan-bilangan, karena manusia adalah heterogen.

Hal tersebut terkait dengan konsep audien aktif dimana mereka ditempatkan sebagai pencipta makna yang aktif dan memiliki cakrawala pengetahuan yang terbuka lebar, sehingga tak menjadi korban dari teks yang distrukturkan. Artinya audien aktif mengerti perbedaaan tayangan “fiksi” atau tidak. Dengan demikian perilaku ngebut dijalanan, salah satunya karena pilihan rasional dari seorang individu tanpa embel-embel hegemoni media.

Lalu dari mana perilaku itu muncul selain dari pengaruh media? Yang demikian terkait salah satunya dengan persoalan penerimaan sosial. Seorang anak muda yang ingin diterima di suatu komunitas akan berusaha mengikuti pola budaya yang sudah terbentuk di komunitas itu. Begitu pun dengan seseorang yang ingin bergabung dengan komunitas motor yang suka ngebut (dikatakan demikian karena tak semua komunitas motor mempunyai perilaku ngebut), dia akan secara sadar mengikuti kebiasaan yang sudah ada, termasuk mengebut, agar dapat diterima. Rasa penerimaaan, solidaritas, dan citra “keren” membuat seseorang akan mengikuti komunitas seperti itu.

Aparatus Moralitas

Perilaku mengebut di jalan senyatanya menggangu orang lain. Tak jauh, saya misalnya yang terganggu oleh bisingnya suara yang dikeluarkan dari knalpot yang digeber. Belum lagi potensi kecelakaan yang dapat membawa orang lain ikut di dalamnya. Perilaku tersebut menggangu kenyamanan masyarakat.

Menjadi pertanyaan besar, ketika perilaku yang merugikan tersebut tetap eksis sampai saat ini, apakah ada yang salah dari peran “lembaga” yang dianggap sebagai pembawa pesan-pesan moral agar tak merugikan orang lain? Keluarga dan lembaga pendidikan adalah lembaga yang sedikit banyak “ditugasi” untuk memberi pemahaman pada anggotanya tentang perihal tak layak merugikan orang lain. Ketika pada kenyataannya perilaku mengebut di jalan masih tetap ada sampai saat ini, membuktikan sedikit banyak ada peran-peran yang gagal diterapkan pada kedua lembaga tersebut.

Hal ini perlu di benahi, agar tak lagi ada perilaku tersebut. Selain tentunya peran polisi yang harus lebih aktif lagi menjaga ketertiban masyarakat, mengingat “lembaga” tersebut digaji untuk melakukan yang demikian.

Referensi:

Chris Barker. 2005, Cultural Studies; Teori dan Praktik, Kreasi Wacana: Yogyakarta.

Cinta

Oleh: Tito Erland S

Kita jatuh cinta, itu biasa saja…

(“Jatuh Cinta itu Biasa Saja”,

Efek Rumah Kaca)

Hati telah jatuh pada sosok idaman. Begitu menggebu-gebu rasanya. Seakan ada namanya pada setiap nafas yang terhembus. Siang malam terlewat tanpa melewati bayangnya, berusaha mencari celah di lubuknya untuk kemudian memenuhinya. Pancaran wajahnya telah menguasai diri, membuat seakan mampu melakukan segala sesuatu untuk menampakan bukti cinta.

Begitu mungkin rasa jatuh cinta. Penuh gelora, seakan ada api membakar jiwa, pil yang menerbangkan khayal, serta tak luput kehadiran sinar yang membutakan mata. Jatuh cinta terasa begitu indah, tak heran sebagian berharap ketika dirinya mengalami hal demikian akan abadi selamanya, layaknya edelewis yang tak mudah digapai namun tak pernah layu.

Hari-hari terasa begitu indah, menjadi milik berdua, saat sepasang hati insan sudah bertemu. Hari terlewati dalam posisi bercinta. Eluhan nafas, sentuhan lembut, tatapan mesra, kata manis, gurauan penghibur, dan sejuta representasi cinta terwujud dari tempat terdalam lubuk hati.

Semua berjalan layaknya sudah sempurna atau memang demikian adanya, sudah sempurna. Namun akankah kesemuanya mampu melewati ujian waktu, berjalan beriringan selamanya? Mampu mengatasi perbedaan dan membawanya dalam ranah keabadian?

Tak selalu. Perceraian, putus cinta, adalah realitas yang kerap kali ditampakan dalam infotainment, terkomodifikasi menjadi hiper realitas dalam karya estetis tayangan sinetron, bahkan terwujud dalam reality show yang terkadang lebih tepat disebut hyper reality show.

Tak jauh, di sekitar kita atau mungkin kita sendiri pernah mengalami itu. Perceraian maupun putus cinta membuat manusia mengalami keterpisahan. Cinta yang terbangun menjadi hancur berkeping-keping, bahkan tak tersisa. Bagi sebagian, putus cinta maupun perceraian justru wujud dari rasa cinta mendalam, suatu “kearifan” yang sampai saat ini belum saya mengerti.

Mengertinya saya, bahwa keterpisahan hubungan cinta salah satunya diakibatkan kedua insan yang tak mau memahami. Kecilnya permasalahan bisa menjadi besar dengan ego yang ditinggikan. Kejenuhan dan jatuh hati pada yang lainnya juga menjadi penyebab retaknya suatu relasi cinta. Maka wajar ketika Fromm mengatakan “pengalaman jatuh cinta memang sangat mempesonakan dan terasa sangat mendalam, namun makin lama perasaan ini makin dangkal hingga akhirnya berubah menjadi keinginan untuk kembali mendapatkan cinta yang baru, dengan ilusi bahwa cinta yang baru akan berbeda dengan cinta yang sebelumnya”.

Saya pun teringat perkataan seorang teman, bahwa makin lama cinta akan memudar. Teman lain berkata, bahwa setelah menikah cinta semakin menyurut, bahkan dapat hilang, yang tersisa menjadi perekat adalah keberadaan anak. Benarkah? Bisa jadi, namun tak bisa digeneralisir, karena manusia bukan benda yang dapat disamaratakan.

Kenyataan demikian momok bagi sebagian, untuk itu manusia perlu berada pada keadaan tetap berada dalam cinta (standing in love) yang dapat menjadi solusi atas sensasi menggebu-gebu dari falling in love. Standing in love manjadi penting mengatasi sifat kepudaran falling in love. Untuk menjadi demikian maka perlu ada aktifitas saling memberi dan menerima, menghargai, dan yang tak kalah penting adalah tanggung jawab. Kita tak “baik” begitu saja masuk kehidupan seorang manusia, membuainya, lalu meninggalkannya karena mengalami kejenuhan atau lainnya. Ada tanggung jawab dalam cinta yang jika dilaksanakan akan mempertahankan keutuhannya.

Dalam kehidupan nyata saya tahu salah satu contohnya , salah seorang juara dalam urusan standing in love, dialah kekasih saya. Di dadanya cinta itu di simpan rapat, dipertahankan semampu mungkin meskipun aral melintang menghalangi jalan kami. Dia masih dapat berdiri tegak ketika saya hampir terjatuh oleh terpaaan angin badai. Darinya saya belajar, bahwa jika seorang insan harus bertanggung jawab atas segala perbuatannya, termasuk bertanggung jawab telah memasuki kehidupan seseorang dan “membuat“ cinta tumbuh dalam hati seseorang itu. Ah, jika saja ada kontes standing in love, saya akan mendaftarkan kekasih saya sebagai kandidatnya.

Referensi:

Erich Fromm, The Art of Love (Gaya Seni Bercinta), Pradipta Publishing.

Kebenaran?

Oleh: Tito Erland S

Krik..krik.. Suara jangkrik terdengar begitu merdu. Mengiringi obrolan dua orang kawan, Badu dan Rudi. Saat itu mereka berdua sedang bersantai di serambi depan rumah Rudi, menikmati secangkir kopi hangat seraya menikmati udara malam. Mereka membincangkan sesuatu yang tak begitu jelas, keabsurdan, tentang kebenaran.

Badu: Rud, kau tahu apa kebenaran itu?

Rudi: Kebenaran adalah putih lawan dari hitam

Badu: Semutlak itu?

Rudi: Ya

Badu: Tak adakah ungu, hijau, merah atau biru di dalamnya?

Rudi: Sudah kukatakan

Badu: Bagiku sebaliknya

Rudi: Mengapa demikian?

Badu: Karena kebenaran di satu tempat berbeda dengan ditempat lain, kebenaran di suatu waktu juga berbeda dengan waktu lain. Kebenaran terikat ruang dan waktu. Kebenaran adalah relatif. Contohnya telanjang dada di pantai pada sebagian negara bukanlah sesuatu yang salah, berbeda dengan negara lain yang menyalahkannnya, menganggapnya tak bermoral

Rudi: Itu hanya adat istiadat

Badu: Ya, adat istiadat yang memberikan makna yang berbeda-beda pada kebenaran

Rudi: Hmm.. Bagiku kebenaran adalah mutlak, harus murni, tak terjamah oleh otak nakal yang menghancurkannya. Itu semua untuk keteraturan. Contohnya manusia tak boleh berboohong, maka itu harus dipatuhinya

Badu: Oo.. Tak juga menurutku. Itu semua tergantung pemaknaan individu maupun masyarakat. Itu bukanlah sesuatu yang mutlak. Terkadang berbohong itu baik, begini contohnya, jika ada seorang teman yang datang kerumahmu dan berkata dia akan dibunuh oleh orang yang sedang mengejarnya, untuk itu dia sembunyi di dalam rumahmu. Lalu ada tiga orang pria yang datang menanyakan keberadaan temanmu, orang yang mereka cari, apakah kau akan memberi tahunya? Aku pikir tidak, kau akan berbohong mengatakan tidak tahu, di situlah letak bahwa kebenaran relatif. Pada titik itu kebenaran sudah dimaknai melalui kearifan individu

Rudi: Kalau kebenaran itu relatif, bagaimana dengan nasib keteraturan?

Badu: Pada kesepakatan bersama dalam lokus tertentu, bukan secara universal, untuk itu tentu dibutuhkan kearifan. Karena pada dasarnya setiap manusia mempunyai rasionalitas untuk mendefinisikan kebenaran

Rudi: Kearifan?

Badu: Kearifan, bahwa tak boleh mencubit jika tak ingin dicubit

Rudi: Bukankah selama ini begitu? Kebenaran dibuat melalui perwakilan masyarakat?

Badu: Tak juga, nilai kebenaran yang dipakai adalah kebenaran versi penguasa, penuh dengan otoritas kebenaran mutlak. Orientasi seks tertentu yang tak umum, masih dianggap menyimpang, padahal mereka tak mencubit siapapun. Agama yang tak sesuai otoritas kebenaran tak dibiarkan hidup, dianggap sesat, padahal mereka pun tak mencubit yang lain. Ideologi tertentu tak dapat porsi eksistensi. Seharusnya semua hidup dalam harmoni, berdampingan, tanpa harus saling mencubit.

Rudi: Tapi bukankah harus tetap ada nilai universal? Semisal manusia tak boleh menghilangkan nyawa orang lain

Badu: Pada kasus tertentu bisa saja hal itu dibenarkan. Semisal kasus euthanasia yang diperbolehkan di beberapa negara. Itu menunjukan kebenaran tak mutak, tak bisa diterima begitu saja, harus ada rasionalitas yang mendampinginya. Kasus euthanasia diperbolehkan di negara lain karena untuk kepentingan si pasien agar tak tersisa oleh sakit yang diderita. Contoh lain adalah hukuman mati yang dilaksanakan di berbagai negara, karena terdakwa dianggap sudah sangat berat kesalahannya merugikan orang lain.

Rudi: Jadi kebenaran tak mutlak?

Badu: Begitulah. Karena kebenaran seharusnya ditujukan untuk kepentingan manusia bukan untuk memenjarakan manusia

Rudi terdiam, sambil kemudian meminum tegukan terakhir dari cangkirnya. Malam kian ralut. Mata pun mulai memerah. “Kita lanjutkan besok saja, aku sudah ngantuk”, kata Rudi seraya masuk ke dalam rumah yang diikuti oleh Badu yang malam itu menginap di rumahnya.

Selera Makan

Rasa sakit menggelayut di dinding lambung

Oleh: Tito Erland S

Rasa sakit menggelayut di dinding lambung. Seperti ada ratusan silet didalamnya yang kemudian diterbangkan oleh tornado kecil sehingga memberikan efek sayatan yang memilukan. Saat itu hari sudah hampir habis, tinggal beberapa pukul lagi sudah berganti. Bukan tak sadar dengan rasa perih itu, namun karena bingung ingin memasukan apa untuk meredakannya.

Saat itu sudah hampir pukul sepuluh malam, namun saya belum pula makan, padahal saya menderita maag yang seharusnya tak boleh telat makan. Bukan tak ingin, saya hanya bingung ingin memakan apa. Saya sedang bosan menyantap hidangan yang tersaji di sekitar kosan. Saya malah memilih menghabiskan waktu dengan membaca buku sambil memikirkan akan memakan apa. Pukul sepuluh lewat, saya akhirnya keluar kosan, membeli telur penyet di warung lesehan.

Jika direnungkan hal demikian terjadi karena saya sedang tak berselera untuk makan makanan di sekitar kosan, saya lebih berselera untuk makan makanan yang berbeda dari biasanya. Intinya soal selera.

Selera, khususnya soal makanan, bukan begitu saja turun dari langit. Ada proses sosial dalam pembentukannya. Entah itu kultural maupun struktural.

Proses pembentukan selera manusia sehingga ia lebih menyukai makanan tertentu salah satunya karena faktor lingkungan. Sedari kecil manusia diberi makanan yang serupa sehingga menjadi terbiasa dengan hal itu. Contoh saja seorang manusia yang sedari kecil sudah terbiasa memakan nasi tak kan merasa kenyang jika hanya memakan roti. Begitu pula sebaliknya.

Begitu beranjak dewasa, seorang manusia semakin beragam seleranya, ada yang suka makanan tertentu ada yang tidak. Hal demikian merupakan proses kesadaran individu dalam mencoba makanan yang baru dijumpainya. Saat makanan yang baru itu sesuai dengan harapannya, ia akan mulai menyukainya dan mungkin akan membiasakan untuk memakannya.

Namun rupanya tak melulu lingkungan keluarga dan individu yang membentuk selera manusia, peran struktural juga bermain di dalamnya. Media televisi mempunyai peranan penting di dalamnya. Hegemoni tercipta lewat iklan yang menggiring manusia berpikir bahwa makanan yang enak adalah yang seperti di iklankan. Akhirnya seorang manusia pun dapat memakan makanan yang ada seperti di iklan dan termakan oleh iklan. Proses yang demikian juga pada akhirnya membentuk semacam strata sosial, bahwa pada akhirnya hanya sebagian saja yang “mampu” membeli makanan mewah. Seorang di pedalaman mungkin saja tak pernah berpikir bahwa ia mampu membeli spagheti di restoran mewah. Persoalan selera makan pun pada akhirnya menjadi pembeda sosial, antara yang mampu dan yang tak mampu.

Persoalan selera juga terkait dengan persediaan. Jika di suatu negara persediaan pangan yang melimpah adalah beras maka rakyat pun menjadi semakin terbiasa memakan nasi.

Selera juga tak mudah diubah. Seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa seorang yang biasa makan nasi maka ia lebih senang makan nasi ketimbang makanan pokok lainnya. Persoalan yang demikian membawa ekses pada wilayah politik, maka kemudian lahirlah istilah politik perberasan. Negara akan bingung jika stok beras menipis, sementara rakyat biasa makan nasi. Kekurangan stok beras akan memicu gejolak sosial terutama dari kalangan pekerja, karena jika beras mahal (karena kelangkaan) maka pekerja sangat mungkin untuk menuntut kenaikan gaji agar mampu membeli beras. Hal yang demikian bisa memicu demontrasi di kalangan pekerja. Karenanya pengusaha butuh beras murah disebabkan wataknya yang tak ingin mengurangi keuntungan sehingga kemudian munculah kebijakan impor beras, dan petani lokal lah yang kemudian tidak diuntungkan.

Persoalan “ketergantungan” pada makanan tertentu berusaha diatasi oleh negara kita, salah satunya dengan iklan yang muncul belakangan ini mengenai ada makanan pokok selain nasi, yaitu singkong, ubi, dan jagung. Di iklan tersebut juga disebutkan bahwa memakan makanan tersebut tidaklah menurunkan gengsi. Berhasilkah meyakinkan? Mungkin bagi sebagian kecil, sebagiannya tidak, saya sendiri pun masih lebih suka memilih makan nasi.

Soal selera memang pada akhirnya terkait dengan banyak hal dan sulit diubah. Jika ingin diubah tentu letaknya pada tekad individu. Jika mau, cobalah berpikir “saya lebih suka makan ubi dibanding nasi”, berulang-ulang. Mungkin berhasil membuat anda beralih ke ubi dan mulai meninggalkan nasi.

note: tulisan ini pernah dimuat di http://we-press.com/

Intrik

Intrik

Oleh: Tito Erland S

Ibarat Scar City, itulah kekuasaan. Menjadi sesuatu yang langka ketika tak dapat diraih semua. Untuk itu perlu perjuangan. Jelas, peraihnya hanya sedikit. Dengan demikian ada semacam kesepakatan sosial di dalamnya, bahwa harus ada yang terkomando, terkoordinasi, atau bahkan tersubordinasi. Kata lainnya ada penguasa dan ada yang dikuasai, ada “ si menang” dan ada “si kalah”.

Tampak menarik sekaligus dapat memuakan ketika ada drama perebutan, pembesaran dan pertahanan. Banyak motif bermunculan dalam rangka ketiganya, motif materi, kepentingan khalayak, atau sekedar gila sensasi karena kekuasaan bagi sebagian orang begitu menyenangkan.

Dalam sesi pertama saja –perebutan- sudah banyak hal yang tak sedap dipandang dan syahdu didengar. Sebut saja contohnya intrik politik dan kampanye hitam. Tak melulu yang demikian terjadi di level makro, pada tingkatan mikro pun kadang terwujud.

Hal demikian terjadi di kampus tetangga saya. Dari cerita teman, saya mendengar, di sana terjadi intrik dan kampanye hitam. Hal demikian terjadi dalam arena perebutan kekuasaan untuk menjadi pemimpin mahasiswa. Intrik terjadi layaknya perang dingin. Teknologi muktahir digunakan untuk melakukan semacam penekanan psikologis pada lawan. Sungguh “canggih”, pada tingkatan kampus sudah seperti itu. Kampanye hitam berbeda lagi modusnya, lewat selebaran yang menjelekan lawan dengan menghembuskan isu bahwa sang lawan mempunyai pemikiran yang nyeleneh.

Intrik dalam politik terjadi karena salah satu kaitannya dengan paradigma sang pelaku. Sang pengintrik dalam dunia perpolitikan bisa jadi mempunyai paradigma bahwa politik dan moralitas adalah dua hal yang terpisah, dengan demikian tak masalah etis atau tidak, yang penting adalah kemenangan. Padahal dalam budaya politik yang sehat, seharusnya cara tersebut tak layak, karena bagaimanapun juga demokrasi mempunyai aturan main dan politik mempunyai etika. Sungguh disayangkan, karena kultur politik yang diharapkan terbangun lebih baik, dicederai dengan hal seperti itu.

Intrik dalam politik sepertinya sudah biasa terjadi, meskipun tak dapat dibilang “benar”, apalagi ditingkatan kampus, hal yang demikian sepertinya menjadi sesuatu yang tak perlu.

Pun demikian dengan kampanye hitam. Tak pantas dipentaskan di arena politik. Tek elok jika kekuasaan dimenangkan dengan jalan menghembuskan isu negatif (apalagi yang berbau SARA dan ideologi) pada pihak lawan.

Pendidikan politik lebih tepat diketengahkan. Pendidikan politik dalam konteks ini yang saya maksudkan adalah memberikan kesadaran pada khalayak tentang fakta dari kepribadian dan track record calon pemimpin. Jadi bukan isu tak bertanggung jawab yang ditebarkan, tapi fakta kebobrokan calon pemimpin dari hasil “penelanjangan”. Hal demikian menjadi tepat karena tentu khalayak tak ingin punya pemimpin yang tak pantas.

Pada akhirnya saya melihat penegasan realitas, bahwa politik seringkali diwarnai dengan penyikutan. Sungguh disayangkan pada tingkatan mahasiswa saja sudah seperti itu, apalagi nanti saat sudah menjadi pemimpin di masyarakat?

Krisis

Krisis

Oleh: Tito Erland S

Mungkinkah Pak Jenggot benar?

Bahwa para ratu penghisap tenaga semut pekerja sedang menggali lubang kuburnya sendiri?

Entahlah, yang jelas mereka sedang kebakaran jenggot, namun bukan jenggot milik Pak Jenggot

Krisis sedang mengombang-ambingkan mereka, mengganggu kenyenyakan tidur

Tapi mungkin mereka masih bisa hidup dalam jangka lama

Apalagi kalau bukan sebab kebijakan para tikus yang mendukungnya

Seenaknya para tikus memberi mereka keju, padahal jelata lah yang sesungguhnya sangat membutuhkan

Ah, memang seharusnya para tikus itu dibakar bersama mereka

Agar hangus tak tersisa, tergantikan generasi baru

Erl dan Boneka Mungilnya

Oleh: Tito Erland S

“Rumahku”. Puisi terindah yang sinarnya pernah terpantul pada kedua bola mata ini, diberikan segenap oleh boneka mungilku yang nyata. Membuat diri ini menatap ke belakang sekaligus meniti langkah ke depan. Menyentuh titik kesadaranku dan mengangkat dari ketidaksadaran.

“Rumahku” hadir di pangkuan saat badai hampir menghancurkannya. Menjadi penyelamat dari cobaan yang maha dahsyat itu.

“Maaf aku hampir menjatuhkan rumah yang pernah kita bangun”, kataku.

“Tak apa Erl, aku mengerti karena rasa yang tersimpan di dada ini”, kata princess oger, boneka mungilku.

Ia tersenyum kepadaku dan kemudian butiran air masuk kedalam rongga mulutnya.

“Hapus air mata itu oger, kita susun lagi batu demi batu agar rumah ini dapat menjadi kediaman yang sempurna untuk kita. Jangan lagi kau bersedih, kerena kelak kita akan bahu membahu selalu menjaga rumah itu, mungkin selamanya”.

Lips Service

Oleh: Tito Erland S

“Saya ini ahlinya”. Ah kata-kata itu begitu manis terdengar. Ingin menunjukan kualifasi diri pada dunia bahwa dia orang yang tepat untuk dipilih. Pengakuan semacam jaminan masalah teratasi dengan keberadaan dirinya. Nasib sedang mujur baginya, terpilihlah dia menjadi pemimpin nomor satu di kota yang bagi sebagian dianggap nomor satu.

Kini alam sedang mengujinya, seolah ingin membuktikan ucapannya. Hujan datang, mengguyur kota itu. Banjir pun melanda. Tak terdengar lagi ucapan percaya diri “saya ini ahlinya”. Ucapannya terbukti tak terbukti. Hanya jadi pemanis kampanye, miskin realisasi. Rakyat menderita, di dera banjir langganan. Sungguh ironis, rakyat bukan hanya berlangganan koran tapi juga berlangganan banjir. Padahal hujan kali ini bukan siklus lima tahunan, tapi tetap saja. Padahal pula, sudah cukup waktu dia memerintah, tapi tak teratasi juga.

Sudah biasa, namun bukan berarti kewajaran, kampanye hanya semacam bagi-bagi bibir manis bagi yang mau dikecup. Sebagian bahkan bagi-bagi uang. Setelah terpilih? Itu tadi, miskin realisasi. Semua jadi seakan mudah terlupakan, mungkin karena rakyat yang pelupa, media pembuat lupa, atau kebijakan yang meniupkan virus lupa. Tapi mungkin juga si pembagi bibir manis itulah yang lupa atau seolah lupa.

Begitulah politik, istilahnya hanya lips service. Dengan dibantu banyak uang, koneksi, dan pandai menggunakan lips service, maka jalan menjadi pemimpin semakin mulus. Tentu tak semua, tapi mungkin hanya sedikit yang tidak.

Kekuasaan memang manis, menarik banyak semut petualang kepadanya. Tengok saja, sudah macam-macam tingkah polahnya. Ada yang tadinya mengaku aktivis tapi kemudian menyerah untuk mengabdi pada sistem bobrok. Ada pula yang haus citra bersih, tapi tak berbuat sesuatu yang kongkrit bagi rakyat, alasannya belum diberi tampuk kekuasaan. Sungguh klise, karena berjuang untuk rakyat tak perlu menunggu kursi nomor satu.

Tak heran banyak yang muak dengan politik. Tak urus, karena tak ada signifikansinya dalam kehidupan, mungkin begitu pikir sebagian orang.

Begitulah politik, penuh warna-warni. Dan saya sendiri mulai jenuh dengan warna-warni itu, untuk itu saya sementara menjadi putih saja. Terserah bagaimana dengan anda.

Selera

Oleh: Tito Erland S

Pernahkah kita melihat fenomena hysteria para gadis berteriak saat ada peluncuran buku puisi atau sastra atau mungkin saat pembacaannya? Mungkin sebagian pernah, tapi saya rasa sangat langka. Bandingkan dengan pertanyaan ini, pernahkah kita melihat hysteria para gadis berteriak saat ada launching album band terkenal atau mungkin saat mereka manggung? Jawabannya, hal itu sudah sering tersuguhkan dalam tayangan live di televisi.

Namun intinya tentu lebih dalam dari sekedar penggambaran sederhana yang saya suguhkan di atas. Kesemuanya adalah tentang apresiasi. Jika tak keberatan, mari kita bandingkan antara jumlah pengunjung sebuah konser musik dengan bincang-bincang membahas buku puisi atau sastra. Bandingkan pula antara betapa seringnya tayangan musik di televisi dan jika mungkin ada dengan tayangan pembacaan puisi. Lalu bandingkan kembali waktu yang ditempuh para sastrawan agar buku yang mereka luncurkan sebelum terkenal menjadi diterima masyarakat dengan band yang baru membuat telur album pertama tapi langsung terkenal. Oh, masih ada bandingkan lagi antara musisi yang (maaf) tak terlalu tampan namun digila-gilai wanita dengan penulis yang tak terlalu tampan yang tak digila-gilai wanita.

Kontras. Itu jawabnya. Tapi di sini bukan untuk menyalahkan selera masyarakat, karena selera adalah hak masing-masing. Tidak juga menyalahkan musisi atau penulis sastra. Saya sendiri penggemar keduanya. Namun yang saya soroti adalah permasalahan industri budaya yang (mungkin) secara tak sadar terdukung oleh sistem pendidikan.

Begini, saya kembali bertanya, pernahkah waktu sekolah kita diajari sastra? Atau diberi pekerjaan rumah agar membaca buku sastra? Seingat saya, sewaktu kecil saya hanya disuruh mengarang cerita, tapi tak terlalu dibahas mendalam. Selebihnya saya hanya diajari tata bahasa Indonesia sampai SMA. Pasca pekerjaan mengarang itu, tak ada lagi yang secara langsung berhubungan dengan sastra, pelajaran bahasa Indonesia lebih cenderung menjadi hapalan yang harus hapal agar mampu tersenyum bangga saat selesai mengerjakan ujian. Mungkin ada kajian teoritiknya, semisal tentang majas, tapi hal itu tak terbahas mendalam, tak diberi penjelasan bagaimana cara menggunakannya dalam penulisan sastra. Hanya diberi penjelasan bahwa (semisal) ada salah satu majas yang bunyinya “ayah ke kantor naik kijang”. Itu saja, sehingga murid kemudian hanya menghapalnya. Saya sendiri baru sadar kalau majas-majas itu ternyata dapat digunakan dalam penulisan sastra.

Menurut hemat saya, hal itu banyak sedikit mempengaruhi selera anak didik. Anak didik lebih terbiasa dengan melihat acara musik yang sering mucul di layar kaca dibanding dengan membaca novel yang tak dibiasakan oleh sistem pendidikan. Namun itu zaman saya SD sampai SMA dulu, entah sekarang.

Kekontrasan semakin dipertegas, dengan pembentukan industri budaya yang dimasifkan lewat layar kaca. Semakin tergiringlah masyarakat pada industri budaya yang tersuguhkan karena lebih mudah di dapat, dibandingkan dengan novel yang jika ingin menikmatinya harus mengeluarkan kocek (atau mungkin pinjam).

Walau begitu yang jelas saya hanya ingin menggambarkan fenomena ini, tak ingin menggiring selera, karena bagi saya jika anda tak menyukai salah satunya, itu tak jadi masalah. Mengutip kata salah seorang teman, “saya cuma punya gelisah tak reda dengan realitas keseharian”

Diana

Empat puluh hari pasca kematian kekasih hatinya, tak lagi pernaOleh: Tito Erland S

Empat puluh hari pasca kematian kekasih hatinya, tak lagi pernah haru biru menggerogoti hati Diana. Hidupnya hampir kembali normal. Tak seperti beberapa hari setelah kejadian itu, bayangan kekasihnya sering muncul menghantui tidur malamnya. Dia selalu takut akan kemunculan sosok kekasihnya, yang seolah-olah hidup dan menuntut kejelasan dari semua peristiwa yang terjadi.

Semua mungkin karena perasaan bersalah yang dideranya. Berawal dari sebuah keributan kecil, tentang keruwetan persimpangan hidup yang harus dipilih, hingga akhirnya berakhir di ujung belati. Kekasihnya mati. Di tangan Diana berlumuran darah pujaan hatinya. Ia benar-benar panik, zat-zat dalam tubuhnya bergejolak sehingga kemudian membentuk reaksi alamiah, sekujur tubuhnya kini dibanjiri dengan cairan hasil pembuangan. Sejenak ia terdiam, lalu menyudutkan dirinya di samping sebuah lemari. Kedua lengannya terangkat menutupi wajahnya. Dari matanya keluar jeritan emosi yang mengalir deras.

“Tidakkkk”

Setengah jam sudah Diana seperti itu. Kehisterisannya menutupi akal sehat. Akhirnya ia sadar, bahwa semua itu harus dibereskan. Tak boleh ada lain manusia yang mengetahuinya. Diana pun bangkit dari keterpurukan, lalu menggenggam kedua kaki kekasihnya, kemudian dengan sekuat tenaga menyeret tubuh itu kehalaman belakang. Dengan cangkul, ia menggali sebidang tanah. Entah mengapa meskipun hal itu tak pernah dilakukan, ia seperti seorang ahli, tak lama kemudian sebuah lubang menganga pun sudah selesai dikreasikan. Ia lalu menyeret tubuh itu ke dalamnya.

“Maafkan aku”, katanya sambil menutupi lubang dengan tanah.

Diana lalu kembali ke ruangan tadi, membersihkan sisa jejak.

Semua sudah berakhir, pikirnya.

Beberapa hari sesudah kejadian itu, Diana takut untuk keluar rumah. Ia takut keluarga sang pria mencari kekasihnya itu. Terlebih lagi jika polisi sudah turun tangan menyelesaikan kasus itu. Tapi sudah dua minggu berlalu, semua tak jadi kenyataan. Entah mengapa sepertinya tak ada yang mengkhawatirkan keadaan kekasihnya itu. Keluarga kekasihnya itu bahkan tak menelepon Diana untuk menanyakan kabar.

Hari ketiga puluh, ia sudah berani keluar rumah. Bayangan wajah tampan kekasihnya tak lagi terlintas dalam kehidupannya. Sampai kemudian semua itu terjadi, hari keempat puluh, saat ruh akan terbang selamanya dari bumi, di sebuah jalan ia melihat kekasihnya itu, lewat di depannya dan seolah begitu nyata.

Ia tampak hidup, batin Diana.

Kekasihnya itu berjalan melewatinya, tapi tak mengenalnya. Tak sedikitpun matanya melirik ke arah Diana. Diana sendiri pun tak berani menatapnya langsung, hanya melihat lewat kedua ujung matanya.

Melihat semuanya itu, Diana tak tahu harus berbuat apa. Ia lalu segera berlari kerumahnya. Di dalam rumah terbayang semua kejadian itu. Perasaan berkemacuk dalam dadanya, antara perasaan takut dan anehnya perasaan senang. Diana lalu meracau sendiri, tertawa keras-keras lalu kemudian menangis. Diana larut kembali dalam memori yang menyiksa jiwa itu.

Mind Your Own Business!!!

Oleh: Tito Erland S
Sepatah kata pun tak terucap untuk sebuah perlawanan, ketika bau mulut busuk mencampuri eksistensi pribadi. Tak ingin berperang karena tak ada kalkulasi keuntungan yang masuk akal, doktrin luhur Sun Tzu terikuti olehku. Berawal dari rumah makan, saat meminta lebih, tentu dengan kesanggupan membayar. Saat itulah pemilik mulut busuk hadir mengacau. Dia bukan pemilik rumah makan, bukan pula petugas jaga, hanya pengunjung yang tak dikenal. Dia mencampuri urusan ku dengan sang petugas jaga. Mengatakan bahwa bisnis rumah makan akan merugi jika semua pengunjung meminta lebih. Ha? Dia pikir dia siapa? Dia bukan pemilik rumah makan itu, jadi itu bukan urusannya. Lagi pula sang petugas jaga pun tak protes sedikitpun. Kenapa dia kemudian yang merasa berkewajiban untuk mengkalkulasikan untung rugi? Tingkah polahnya tak berhenti. Saat sang petugas jaga menyidukan nasi untukku, dia kembali ikut campur. Jangan terlalu banyak, katanya, nanti tak habis, sayang. Uh, darah ini mendidih mendengarnya. Memangnya dia tahu apa? Memangnya ini perut siapa? Perutku atau perutnya? Siapa yang lebih tahu dan lagi kenapa ia merasa berkewajiban untuk mencampuri urusan aku dengan sang petugas jaga? Bukan, dia bukan siapa-siapa, dia hanya pengunjung, yang tak ada kaitan dalam keuntungan atau kerugian bisnis rumah makan itu. Lalu kenapa dia ikut campur? Entahlah, mungkin sudah tabiatnya. Mungkin ia merasa rasionalitasnya lah yang terbenar sehingga semua harus sesuai dengannya, meskipun itu bukan urusannya. Tapi sekali lagi kubiarkan saja, tak ada kalkulasi keuntungan yang masuk akal jika berperang. Akhirnya dia pergi, meninggalkan aku dengan sejuta kegondokan melihat tingkah polahnya yang senang ikut campur. Makan pun tak senikmat biasanya. Selera menjadi terkikis dengan kejadian itu. Kataku dalam hati, mind your own business!!!

Kembang dan Kumbang

Kembang dan KumbangOleh: Tito Erland S

Bagi. Diartikan bukan sebagai untuk. Mendekati makna sebagai tanda dalam matematika, namun jauh lebih dalam dari itu dikontekskan pada ranah sosial, khusus lagi perjalanan hidup dua insan. Dalam ranah itu bagi mendapat imbuhan “ber”.

Metafora terangkai penggambar perjalan kisah itu. Alkisah rajutan terjalin antara kembang dan kumbang. Suatu saat kepakan sayap kumbang menghantarkannya pada kembang. Saat ia akan meminum madu dari kembang, kembang menutup mahkotanya.

“Aku tidak ingin sedang berbagi madu denganmu”.

Kumbang terkejut dan kemudian marah pada kembang. Namun rupanya kembang punya alasan.

“Ini adalah madu ku. Dan kau tak berhak marah jika ku tak membaginya denganmu”

Kumbang terheran dengan semua itu. Apa kasih tak berarti berbagi?, pikirnya.

Kumbang lalu teringat cerita kembang tentang dua insan lain. Dua insan itu terlibat kisah yang tak habis pikir baginya. Mereka melakukan semacam traktat sebelum memasuki bahtera kehidupan bersama. Isinya tak jauh dari kesepakatan agar materi tak jatuh ke tangan yang satu jikalau harus menemui gunting pemisah jodoh. Kumbang kembali berpikir mengingat cerita itu, apakah tak ada milik bersama? Apakah yang ada hanya milik pribadi? Apakah kata berbagi menjadi hilang dengan keegoisan individu?

Menurut pak jenggot, sang biang keonaran, sejarah manusia bergerak karena adanya sistem kepemilikan pribadi. Hal tersebut perlahan menghilangkan konsep kesukarelaan dalam berbagi. Kemudian menjadi bermasalah ketika termonopoli sementara yang lain tak berkesempatan memiliki. Namun ada tesis yang mengatakan hal itu tak terjadi pada hubungan dua insan. Di dalamnya masih ada keluhuran berbagi. Dus, semua itu terlindas oleh roda zaman, ketika moderenitas memutarbalikan kesemuanya, tesis pun tak lagi benar secara absolut. Ilmu hitung-menghitung menjadi warna dalam hubungan dua insan. Kepemilikan bersama menjadi semakin absurd. Jangankan itu istilah berbagi pun menyempit.

Akhirnya kasih tak lagi seindah kisah yang dirangkai Gibran. “Kasih adalah berbagi hati bukan materi”. Hal itu yang terpancar jelas dari wajah sang kembang dan membuat kumbang terlena dalam haru biru.

Mungkin kasih hanya urusan hati, bukan materi, jadi yang perlu dibagi hanya hati saja. Ah, tapi layakah itu?

Pelangi itu Tak Muncul Lagi

Oleh: Tito Erland S Hujan turun dengan derasnya, mengguyur bumi ini. Alam sedang menangis. Tangisan yang sesungguhnya memberi kehidupan pada tubuh-tubuh yang haus akan airnya. Saat itu sang hujan turun disertai dengan gerak sang angin yang begitu dahsyat. Namun sang angin tak menghancurkan, hanya menggetarkan sanubari yang disapanya. Hanya halilintar yang tampak garang. Dia menyalak-nyalak bak anjing penjaga pintu neraka, semua yang mendengarnya tampak begitu pucat dan memohon perlindungan pada Sang Pengatur mereka semua. Hampir tak ada seorang pun yang berani keluar dari tempat perlindungannya, mereka takut melihat halilintar yang sudah berhasil menghitamkan seorang anak kecil yang terlambat pulang. Hanya diriku yang berani keluar, seakan menantang alam. Para manusia-manusia bijak meneriaki ku, memperingatkan akan kemalangan yang sewaktu-waktu dapat menjemputku. Seorang gadis berkata: “Apa yang kau lakukan wahai pria tampan? Kemanakah letak cairan kebijakan yang selama ini kau agung-agungkan? Apa yang sebenarnya hendak kau cari dan kau buktikan? Tak tahukah kau alam dapat menenggelamkan mu pada lautan kematian dan memberi tangisan pada para manusia yang mencintaimu? Kembalilah ke perlindunganmu” Kuperhatikan wajah gadis itu, sangat cantik dan meneduhkan. Kata-katanya penuh dengan wangi kearifan. Terima kasih, batinku, tapi maaf saja aku tak dapat mengikuti titahmu kali ini. Aku harus mencari sesuatu yang dapat membuatku merasa di dunia keabadian. Ku terus berlari di tengah hujan. Di sebuah tanah lapang, kubentangkan tanganku, berlari memutar-mutar seperti anak kecil yang memerankan dirinya sebagai sebuah pesawat. Halilintar terus menyambar-nyambar. Hampir aku terkenanya. Hanya beberapa inci dari tubuhku, kalau tak sempat menghindar mungkin hitam sudah tubuh ini. Aku melakukan semua hal ini, agar dapat menjadi manusia pertama yang melihat keindahan pelangi. Pelangi memang obsesiku. Keindahannya selalu ku rindukan. Tak ingin aku ada orang lain yang lebih dulu menikmati warna-warni yang keluar dari jembatan surgawi itu. Hujan usai akhirnya. Angin dan halilintar pergi bersamanya. Namun aku tak menemukan apa yang ku cari. Pelangi itu tak muncul kali ini. Dia menghilang, tak sudi menyapaku. Haru biru muncul dalam dadaku. Ku tinju alam, tapi dia tak bergeming. Ku berteriak memanggil pelangi. “Pelangi dimanakah engkau? Tak tahukah aku selalu merindukanmu di kala hujan usai? Aku ingin mencumbumu, menikmati aroma tubuhmu. Ingin aku menikmati keindahanmu lagi. Tak ingatkah kau kala pertama kali kita saling mengenal? Saat itu engkau menyapa ku dengan ramah, menyambutku dengan senyum manismu. Diriku selalu teringat masa itu, masa terindah dalam kehidupanku. Aku ingin mengulang pertemuan itu. Saat dimana kita dapat saling bercanda, tertawa dan bahagia. Sudah terlanjur aku mencintaimu, merindukanmu, dan mendoakanmu dalam setiap hembusan nafasku. Tapi mengapa kau tak memperdulikan rasa ini? Kau bahkan tak lagi sudi tak menyapaku. Pelangi kau menghancurkanku, menghancurkan rajutan cinta yang telah terajut dengan indah untukmu” Pelangi tak mendengarkan ku. Ia tampak tak peduli. Aku pun terpuruk dalam kesedihan mendalam, menangisi kepergiannya. Aku pun berbisik dalam kekhusyukan doa. “Pelangi jikalau engkau tak sudi lagi memperlihatkan keindahanmu di dunia ini, biarlah engkau menemaniku dengan keindahanmu di keabadian kelak”.

Stasiun di Malam Hari

Malam itu bulan bersinar terang, tak bulat memang, tapi tetap s

Oleh: Tito Erland S

Malam itu bulan bersinar terang, tak bulat memang, tapi tetap saja menebarkan sejuta keindahan bagi para manusia yang memandangnya. Bams lalu berceloteh dengan bahasa isyaratnya. Ku coba mengartikannya.

“Cobalah kalian pandangi bulan itu. Perhatikan dengan seksama menggunakan mata batinmu. Kelak kalian akan melihat bulan berjalan dengan langkah bak putri raja”.

Malam itu enam manusia penghirup udara keheningan berkumpul di sebuah tempat yang tak begitu besar namun memberikan sejuta kenyamanan. Suasana di tempat itu terasa tepat dalam menemani kami bercengkrama dan berbagi keceriaan.

Sesekali dari tempat itu terdengar suara hewan baja. Hewan tersebut meraung dengan indahnya, membawa kami untuk memandangnya. Tiap kali sang hewan tersebut berhenti sejenak, para manusia di sekitarnya berlomba untuk menungganginya, takut tak terbagi tempat. Kami menikmati kesemua itu, sambil menyantap obrolan sebagai menu utama kami.

Kala itu, Bams menjadi sosok pembawa obor bagi kami. Dia mencairkan kedinginan dunia malam itu. Sisanya, kelima manusia termasuk aku menjadi laron yang mendekati cahaya karena jenuh akan gelapnya dunia. Namun anehnya api dari obor itu tak membakar sayap-sayap kami, dia hanya menghangatkan tubuh kami. Sungguh ajaib, obor kehidupan yang dibawa oleh Bams.

Bams banyak memberi celoteh pada kami malam itu. Ia berkata padaku

“Kejarlah bintang yang kau puja. Jangan kau termenung saja dibuatnya, hanya berpikir tanpa bertindak sesuatu. Sungguh, itu percuma. Kejarlah ia. Berikan keindahan dunia padanya. Berikanlah sejuta puisi untuk meluluhkannya”

Ah, sungguh kata-kata yang keluar dari tangannya adalah mutiara penyemangat hidup. Kata-katanya ibarat tangan manusia yang mengangkatku dari aliran sungai deras yang dapat menghanyutkan diri ini dalam kebingungan.

Bams pun bercerita kembali, kali ini tentang temanku.

“Sulit bagimu teman. Kau ibarat ladang gersang yang tak ingin dikunjungi oleh bidadari yang lebih senang dengan taman surgawi”

Kami semua tertawa mendengarnya. Aku sendiri tak terlalu menjadikan pedoman setiap kata yang keluar dari isyarat Bams, hanya kujadikan sebagai penghibur dan penyemangatku. Ku harap sahabat ku pun begitu, sehingga tak terpuruk ia karena kata-kata Bams.

Bams seakan tak kehabisan energi. Ia mempertunjukan kecakapannya pada kami yang dibuat terkagum-kagum. Ia menunjukan sebuah atraksi sulap kecil dengan sedikit banyolannya. Kami semua bertepuk tangan lalu tertawa. Dan kemudian senyum bahagia karena diajari triknya. Sungguh baik Bams, mau berbagi ilmu pada kami.

Setiap aliran darah Bams seakan teraliri dengan sel-sel bakat alami. Seolah tak habis-habis kemampuannya untuk dipertunjukan pada kami.

Malam itu, bisa saja tak pernah ada, jika Jay tak pernah menantangku untuk melakukan perjalanan spektakuler. Kami berdua rela menempuh ramainya prasarana transportasi darat dengan mengendarai sepeda untuk kemudian singgah di tempat ini. Tak mudah bagiku yang sudah lama tak mengendarainya, untuk kali sekiannya diri ini hampir terlindas kejamnya produk moderenitas.

Namun usai sampai, terbayar sudah. Segala kelelahan menjadi sirna oleh symphony gelak tawa yang diaransemen oleh Bams.

Malam itu sungguh membawa sejuta pesona. Saat detik-detik dimana kelarutan dan kedinian bertemu, kami bersepakat untuk menyudahi pertemuan berharga itu. Lalu pergi kami masing-masing menuju tempat awal keberangkatan.

Kesepian kota Purwokerto kulalui berempat dengan temanku. Sepeda dan motor kala itu beriringan berjalan bersama membentuk sebuah harmony kehidupan. Sungguh pengalaman indah malam itu tak kan terlupakan bagi ku.

Sosok Ceria di Stasiun

Oleh: Tito Erland S Bams, kau adalah sosok baru dalam hidup ku Kau masuk ke dalam jiwa ini dan membelainya dengan halus Tak sangka secepat itu diri mu mampu menaklukan jarak yang membelah keakraban Sosok dingin ini mampu kau hangatkan dan membuatnya cair bahkan kemudian mengikuti panas yang kau bawa Bams, malam itu mungkin bulan pun iri padamu Pada diri ini kau menunjukan sebagian keindahan yang ada pada mu Dalam diri mu tertanam sejuta potensi Setiap tetes darahmu dialiri oleh bakat abadi Kau meramalku Mengatakan aku harus mengirim bunga pada keindahan yang kupuja Ah, kata mutiara mu itu semakin membuatku bersemangat mengejar mimpi itu Mimpi yang kau baca dari garis-garis kehidupanku Kau bermain sulap Memamerkan kecepatan tanganmu Membuat ku terkagum Membuat ku terheran dan kemudian tertawa karena kau melucu Malam itu kau membawa kecerian Pada ku, Jay, Mas Suroto, Irna, dan Wahyu Terima kasih Bams Semoga kecerianmu abadi

Kematian Sebatang Bunga

Oleh: Tito Erland S
Bunga itu telah mati Aku yang memetiknya Namun biarlah bunga itu tumbuh lagi setelah kematianku Biar dia kembali menghiasi dunia ku dalam keindahan taman abadi

Selembar Puisi Untuknya

Ku sandarkan tubuhku pada sebatang Beringin

Oleh: Tito Erland S

Ku sandarkan tubuhku pada sebatang Beringin. Semilir angin yang mengalir diantara dedaunan menyapa hangat tubuh ku, menemani dalam kegetiran. Sudah sejak tadi aku duduk di sana. Sejak matahari masih di ufuk timur dan sekarang berada tepat di tengah bumi. Aku termenung, memandang ke atas langit biru. Ku melamun, angan ini terbang jauh ke dalam hati seorang wanita. Awan yang kulihat seakan berubah menjadi wajah cantiknya. Semuanya di dunia ini seakan tentang dia.

Orang-orang yang berlalu lalang terkadang memperhatikan kelakuan aneh ku ini. Mereka memasang wajah aneh. Orang itu kenapa ya? Melamun sendiri. Gila kali ya?, mungkin begitu pikiran mereka.

Tapi saat itu tak ingin sedikitpun kupedulikan mereka. Lagipula aku tidak gila. Aku hanya sedang jatuh cinta. Tak pernah kah mereka merasakan jatuh cinta?, batinku. Cinta memang terkadang dapat membuat orang terlihat sangat tidak rasional, karena cinta memang bukan tentang rasional atau tidak rasional. Cinta adalah tentang perasaan.

Saat itu aku hanya mempedulikan cintaku. Hanya memperdulikan dirinya, seorang perempuan yang mampu menggetarkan sanubariku. Dia lah pelangiku, yang hadir ketika hujan usai.

Aku tak habis pikir bagaimana bisa meruntuhkan hatinya. Kala ini hatinya sudah tertambat pada sosok lain, dan itu jelas bukan aku. Asa ku ini menggebu-gebu untuk merebut hatinya, menyelami jiwanya. Bukan karena ingin merusak kebahagiaan hidupnya, tapi karena aku sudah tak tahan lagi menahan anugerah surgawi ini dan ingin berbagi dengannya.

Ku tuliskan puisi untuk dirinya pada sehelai kertas putih.

Untuk Dirimu

Untuk dirimu

Yang kupendam jauh dalam hatiku

Yang kusimpan erat dalam anganku

Aku ingin sekali meraih kunci hatimu

Yang dapat membukakan jalan bagiku untuk dapat masuk dalam jiwamu

Yang dapat membuatku menebar sejuta cinta dalam setiap langkah hidupmu

Akan kutukarkan sejuta istana agar aku bisa meraih kunci itu

Akan ku lakukan segala pintamu agar diri ini dapat mengecup hatimu

Kuserahkan segenap jiwaku agar kau sudi kiranya untuk mencintai ku

Ku jaga baik-baik puisi itu sehingga tak seorang pun dapat merebutnya seandainya terjadi. Ku masukan dalam sekantung kain yang terjahit rapih pada selembar rajutan indah bermotif kotak. Kan kukirimkan puisi itu kepada wanita impianku, berharap dirinya mengerti makna yang tersurat dan tersirat dan membalas dengan hatinya.

Aku lalu pulang. Meninggalkan alam yang sedari tadi setia menemaniku dalam kesepian hidup.

Ku berjalan sendirian di setapak jalan. Teriknya matahari menghujam kulit ini, memerahkannya lalu dari dalamnya keluar butir-butir air kehidupan. Butir-butir air kehidupan itu semakin lama semakin banyak, ribuan atau mungkin jutaan, membasahi sekujur tubuh. Tapi tak begitu menderita dikarenakannya, sebab tertutupi pilunya hati ini.

Di persimpangan jalan ku temui sekotak tempat surat. Ku masukan puisi itu lengkap dengan selembar amplop yang telah tertuliskan alamatnya. Lega hati ini sudah bisa mengirimkan puisi itu.

Ku teruskan perjalan hidup. Selangkah demi selangkah akhirnya sampailah aku di tempat peristirahatan sementara ku, tempat yang sebutulnya tak jauh dari perlindungan kekasih impianku.

Aku pun lalu menunggu. Berharap mendapat balasan darinya, apa pun itu, agar aku bisa melanjutkan hidup.

Bersambung sampai suatu saat nanti ketika sang gadis impian membalas puisi ku

Putaran Roda Nasib

Oleh: Tito Erland S Purwokerto, 14 Oktober 2008. Ketika itu hari sudah sore. Butiran-butiran air hujan sedang asyiknya menghujami bumi yang ku pijak. Sudah sedari tadi hujan ini tak kunjung berhenti, mereka seakan berkomplot untuk menghalangiku menjalankan misi yang sangat penting bagi hidup ku. Tapi ku tak patah asa, ku yakin Sang Pengatur Nasibku hanya sedang menguji kesabaran ku. Dia mungkin ingin melihat seberapa besar niat yang mucul dari dalam hatiku. Benar saja, keyakinan ku tak meleset kala itu, menjelang magrib langit tampak bosan melanjutkan tangisannya. Ah, betapa senangnya hati ini. Aku pun lalu mengirimkan SMS kepada Jay: Alhamdulillah. Alam seolah memahamiku. Hujan tampaknya mengerti aku punya hajat yang sangat penting. Ku tunggu kau kawan baik ku untuk mengantarkan ku ke pelabuhan cintaku. Belum terlalu lama aku mengirimkan sms itu, roda nasib seakan berputar dengan sangat cepat. Putarannya lebih cepat dari kilatan cahaya yang menyambar-nyambar bumi di kala hujan. Putaran yang dapat menghantarkan seseorang kedalam keadaan trance atau bahkan tak sadarkan diri. Perasaan senang yang tadi ku alami sekarang berbanding terbalik menjadi suatu kekhawatiran yang berlebih. Hujan seakan mempermainkanku, mereka meledek ku. Mereka kini turun lagi. Ah sial, batinku. Aku pun sekarang pasrah menunggu keajaiban yang dapat menyingkirkan eksistensi hujan ini untuk sementara. Aku pun lalu mengrimkan SMS pada Jay: Wah, ujan lagi Jay. Kalo ga jadi kesini gapapa. Gw ga enak liat loe keujanan. Lama SMS itu tak dibalasnya. Diri ku ini lalu termenung, mungkin besok saja aku ke tempat tambatan hatiku itu, pikirku. Tit.. tit.. Berapa lama kemudian ponsel ku berbunyi. Oh, rupanya SMS dari Jay. Gw bentar lagi kesitu, tunggu ya, begitu bunyi pesan dari Jay. Saat itu sudah pukul setengah delapan malam. Aku pun menunggu kedatangan Jay sambil berharap-harap cemas. Berbagai macam perasaan berkecamuk di dalam dada ku. Senang, takut, khawatir, kesemuanya itu bercampur menjadi satu. Wajar saja jiakalau aku seperti itu, sebentar lagi aku harus menghadapi peristiwa penting dalam hidupku, berkenalan dengan wanita yang selama ini kupuja. Pukul 20:30. Akhirnya Jay datang juga. “Gapapa nih Jay malam-malam ke kosan cewek? Takut ga enak” “Udah gapapa”, kata Jay. Kami pun berangkat ke tempat si gadis. Jarak yang sebenarnya tak terlalu jauh, ku lalui seakan beratus-ratus kilometer jauhnya. Sampai tibalah akhirnya aku dirumah si gadis. Jay pun lalu berinisiatif untuk mengetuk pintu. Sedangkan aku berdiri mematung, seakan masih tak percaya dengan jalinan nasib yang sebentar lagi akan kulalui. Tok.tok.. Jay mengetuk pintu. “Cari siapa ya?”, seorang gadis berkacamata membukakan pintu. Oh, rupanya temannya. “Ina nya ada”, kata Jay. “Ada. Masuk aja dulu mas” Gadis berkacamata itu pun lalu memanggil Ina. “Ina, ada yang nyari tuh” “Siapa?” suara dari dalam menjawab. “Dari siapa ya mas?”, gadis berkacamata itu lalu bertanya pada kami. “Jay”, jawab teman ku itu. Tak lama kemudian Ina pun keluar menemui kami. Aku lalu diperkenalkan oleh Jay. “Oh ya, kenalin ini teman ku”, kata Jay. Aku memperkenalkan diri sambil tersenyum manis padanya, berharap senyuman itu dapat meruntuhkan dinding tebal yang menjaga hatinya. “Ina”, katanya memperkenalkan diri pada ku. Selanjutnya kami bertiga pun larut dalam obrolan. Sebetulnya hanya mereka berdua, Ina dan Jay, yang lebih banyak mengobrol. Sedangkan aku lebih memilih banyak berdiam diri karena mengikuti anjuran suatu teori cara mendapatkan hati wanita. Dalam teori itu disebutkan kalau pria harus tampak misterius biar si perempuan penasaran. Selain itu aku memilih lebih banyak berdiam diri karena aku tidak mempunyai topik yang akan diobrolkan, maklumlah aku baru kenal dengannya. “Anak Hukum ya?”, kataku menyela pembicaraan mereka, “Aku pernah liat kamu di Hukum”. “Iya, kamu anak Hukum juga?” “Bukan”, jawabku. Aku pun lalu menjelaskan bahwa aku berasal dari fakultas lainnya. “Angkatan 2005 juga?”, katanya. “Bukan 2004” Paska pembicaraan itu, dia banyak bertanya tentang teman-temannya yang satu fakultas dengan ku. Tapi aku tak tau semuanya, hanya berapa nama saja yang aku tau. Kejadian selanjutnya adalah dia lebih banyak berbincang dengan Jay. Aku hanya sesekali nimbrung dalam pembicaraan mereka. Diriku ini lebih banyak memperhatikan wajah nya yang luar biasa cantik itu. Jikalau diibaratkan wajahnya bak bidadari yang sering digambarkan hidup di taman-taman Firdaus. Kulitnya ibarat air surga yang jernih, tanpa noda sedikitpun. Tatapan matanya meneduhkan sekaligus melumerkan hatiku. Sungguh kawan, aku tak pernah melihat wanita lain secantik dia di dunia ini. Tapi kesemuanya itu tentu saja kulakukan secara sembunyi-sembunyi. Aku mencuri-curi kesempatan untuk memandang wajah cantiknya, takut dia memergokiku, tak enak lah nanti jadinya. Pukul 21:00. Jay mengajak ku pulang. “Pulang yuk”. “Ok”, kataku. Kami pun lalu berpamitan pulang. Sebelum pulang aku melemparkan senyum manisku, masih berharap senyum itu dapat meluluhkan hatinya. Sebelum pulang aku dan Jay makan terlebih dulu. Kami makan malam di sebuah warung lesehan. Sambil makan aku menceritakan pada Jay bahwa aku sangat senang malam itu, dapat berjumpa dengan bidadari yang selama ini ada dalam doa-doaku. Selesai makan, aku pulang, sementara Jay lebih memilih untuk ngenet terlebih dahulu. “Thank you ya Jay”, kataku pada akhir perpisahan kami di malam itu.
***
Pagi hari pukul 07:00. Aku mengrimkan SMS pada Ina, berharap dapat lebih dekat mengenalnya. Isi pesanku: Hai Ina. Niy yg kemaren main ke kos kamu, temannya Jay. Salam kenal ya . O iya jangan lupa simpen no ku ya.. hehe.. SMS pun terkirim. Lama tak mendapat jawaban. Aku pun lalu pergi ngenet. Pagi itu aku memang berencana untuk ngenet, ingin mengupload puisi yang semalam aku buat selepas pulang makan malam bersama Jay. Puisi itu ku buat tentang perasaanku yang sangat senang malam itu. Beginilah puisinya:
Sekeping Nasib
Malam ini Sang Pencipta Kehidupan membukakan pintu-pintu surganya. Dari dalamnya tercium aroma semerbak surgawi yang dapat menentramkan jiwa siapapun yang menghirupnya. Dia mendengar, batinku. Sungguh mulia Dia, mau mempertemukan diri ini dengan mimpi-mimpi yang telah lama kurangkai. Syair yang selama ini kulantunkan rupanya telah bermetamorfosis menjadi sebongkah realitas yang dapat kugenggam. Dia Maha Tahu, Maha Mengerti, maka dengan kekuasaanNya diutuslah seorang bidadari untuk menemaniku. Bidadari itu memiliki rupa yang sangat jelita, wajahnya menunjukan kecantikan abadi yang tak kan sirna termakan waktu. Rambutnya yang hitam legam dibiarkannya tergerai, menambah daya magis dalam dirinya. Matanya yang penuh keteduhan sesekali menatapku, semakin membuat hatiku melumer. Sungguh suatu mukjizat aku dapat menatapnya sedekat ini. Malam ini sungguh malam yang sangat indah. Segenap alam seakan mendukungku agar melanjutkan sekeping nasib yang telah ku genggam. Purwokerto, 14 Oktober 2008. Baru selesai diri ini meng upload puisi itu ke blog ku, ponselku berbunyi. Ada pesan singkat, kubaca siapa pengirimnya. Oh, ternyata dari Ina. Senyumku pun langsung merekah. SMS itu lalu kubaca: Niy ma cowoknya Ina. Deg. Aku terkaget. Aku tak menyangka kejadiannya akan seperti ini. Aku memang sudah mengetahui bahwa Ina sudah punya pacar, tapi ku pikir tak ada salahnya aku mengenalnya lebih dekat. Aku berharap Ina sendiri yang menjawabnya, tapi kenyataan berkata lain. Tapi ya sudahlah nasi sudah menjadi bubur. Putaran roda nasib sedikit banyak mampu menjungkirbalikan perasaanku. Tuhan memang Maha Kuasa, Dia dapat membolak-balikan hati seseorang seperti yang Dia kehendaki. Hatiku yang tadinya gembira, dalam sekejap mata berubah menjadi kesedihan yang amat sangat. SMS itu lalu ku balas dengan sopan: Sory, gw cuma temen aja. Maaf. Tak ada balasan. Aku pun merana. Menangisi kasih tak sampai ini. Tapi di balik semua itu, aku tak gentar sedikitpun. Putaran roda nasib saat ini mungkin sedang tidak memihak ku, tapi tak dapat meredupkan api semangatku. Kan ku kejar mimpi itu sampai ke ujung dunia. Aku berjanji pada diri ini, tak kan pernah melepas mimpi itu.

Curhat untuk Sahabatku

Oleh: Tito Erland S Sahabatku dengarkanlah kisah ku dalam menapaki hidup Ini kala aku terjebak dalam benang kusut realitas kehidupan Segumpal daging dalam tubuh ini tertambat pada dua pusat keindahan Aku tak mengerti harus bagaimana menghadapi kesemuanya Bisakah hati terbelah menjadi dua, atau bahkan terpecah menjadi berkeping-keping? Salahkah itu? Dosakah itu?