.

Pamrih

Oleh: Tito Erland S

Keikhlasan dalam memberi, masihkah ada?, terutama dalam tubuh sebuah partai. Atau mungkin sudah langka?, tergerus logika bisnis, logika untung rugi. Memberi berubah menjadi sebuah pengharapan, pengharapan untuk mendapatkan perlakuan setimpal, sang penerima akan balik memberi dalam bentuk lain.

Tak hanya tak ikhlas, memberi pun menjadi riya, menjadi sebuah ajang pamer kedermawanan. Memberi pun menjadi punya arti strategis, meraih dukungan massa.

Saya teringat pada sebuah iklan politik sebuah partai yang mengabarkan pada khalayak tentang perilaku kederwanannya. Mengabarkan bahwa mereka sudah memberikan sumbangsih, memberikan bantuan terhadap yang terkena musibah. Memberi, dengan demikian dijadikan materi kampanye. Materi untuk meraih keuntungan. Memberi menjadi semacam logika kapitalis, menanam modal untuk mengharapkan mendapat sesuatu yang lebih, meskipun tak dalam bentuk uang. Tujuannya tentu jelas, tujuan sebuah kampanye, meraih dukungan massa yang pada akhirnya bertujuan untuk meraih kekuasaan.

Para penerima kedermawanan pun akhirnya menjadi obyek kampanye untuk menunjukan betapa pedulinya sang pemberi. Sang penerima tak lagi menjadi subyek harus diperlakukan selayaknya manusia, tapi menjadi alat untuk memuluskan jalan kepentingan sang pemberi.

Dosakah itu? Mungkin ya atau mungkin juga tidak. Saya tak tau, bagi saya seharusnya partai itu lebih tau karena mereka adalah partai yang mengaku-ngaku berdasarkan pada agama.

Saya hanya menilai bahwa itu tidak layak, tak pantas untuk dipentaskan di panggung politik. Tentu itu dari sudut etika politik. Bukan dalam politik rasional yang digambarkan Machiaveli, bahwa politik dan norma adalah dua hal yang terpisah. Atau jangan-jangan partai tersebut menerapkan politik rasional semacam demikian? Anda tentu bisa menilai sendiri.

0 komentar: