.

Renungan dalam Kesendirian

Oleh: Tito Erland S

Sendiri. Kesendirian. Saat dimana hanya ada engkau dan keheningan. Saat bijak untuk berpikir. Saat dimana engkau bisa merenung mendalam, merenung dengan aroma kebebasan.

Bebas. Manusia dikutuk dengan kebebasannya, begitu kata Sartre. Kebebasan untuk berpikir, kebebasan untuk berkehendak, karena manusia adalah ĂȘtre-pour-soi, mampu menentukan esensinya sendiri.

Kesendirian dan kebebasan. Dua kata yang seolah dapat melebur menjadi satu, menjadi keidentikan. Dalam kesendirian terdapat kebebasan. Engkau dapat bebas bertanya tentang segala sesuatu, tanpa harus takut pada daya magis hegemoni, tanpa harus takut terkena tongkat bambu represi pemikiran. Apapun bebas kau lontarkan, tanpa perlu takut, karena kau berdialog dengan dirimu sendiri, dengan kebijakanmu sendiri.

Engkau bebas mempertanyakan yang kau yakini selama ini. Mungkin saja salah. Mungkin saja jika ada hal yang kau perjuangkan itu adalah suatu kesia-siaan. Mungkin saja jika kau mencita-citakan revolusi, itu hanyalah revolusi kekanak-kanakan.

Bertanyalah. Mengapa mesti takut. Kau tidak akan dipersalahkan siapapun. Karena kau sendiri, tak ada yang lain disekitarmu. Bertanyalah. Bertanyalah. Karena jika yang kau yakini adalah benar, kau tak perlu takut untuk mempertanyakannya, sebab kebenaran tetaplah kebenaran walau dihujami berjuta keraguan.

Puisi tentang Laut

Malam hari, saat bintang gemintang mulai mengerlingkan sinarnya

Oleh: Tito Erland S

Malam hari, saat bintang gemintang mulai mengerlingkan sinarnya pada manusia-manusia bumi, aku terduduk sendirian di pinggir pantai. Malam yang tak begitu gelap karena sang bulan menemani kesendirianku dengan sinar penuhnya. Pada hamparan pasir pantai, kogeraskan jari jemariku membentuk suatu lukisan. Namun air pasang dan deburan ombak segera menerjang hasil karya itu. Meluluhlantahkannya sehingga kemudian tak berbentuk.

Aku terdiam melihat semuanya, menyesali keadaan yang mengharu birukan hati. Tak berlebih, karena bagiku setiap karya terbuat dari seuntai jiwa yang terolah.

Kucoba kembali melukiskan hal yang sama, tapi kemudian sang ombak pun kembali lagi, seakan menantang dengan segala keangkuhannya. Ataukah sebenarnya ini adalah kebodohanku, yang congkak menantang alam, berharap sang laut mau menyapa hangat buah jiwaku. Harapan yang sesungguhnya timbul sebab laut pernah melakukannya, menyapa hangat lukisanku saat ia tenang. Namun laut kini berbeda. Ia seolah membenciku dan karyaku. Aku ingin semua seperti dulu. Tapi entahlah apa itu dapat mewujud kembali. Kini ku hanya termenung, sendirian dalam keautisanku.

Cerpen tentang Oposisi Biner

Kau salah-kau benar, kau tampan-kau jelek, kau modern-kau tradi

Oleh: Tito Erland S

Kau salah-kau benar, kau tampan-kau jelek, kau modern-kau tradisonal, kau modis-kau kuno. Oposisi biner itu terus mengelayut dikepalaku, menusuk-nusuk saraf otak. Muak jadi dibuatnya.

Sejak dahulu aku dan para manusia lainnya dijejali dengan sampah demikian. Dijadikan robot yang tak dapat berpikir sendiri dan hanya menerima titah-titah suci dari sang tuan. Tak menjadi soal ketika aku masih kanak-kanak, namun kini aku telah dewasa, dapat berpikir sendiri, dapat menentukan mana yang baik untukku dan mana yang tidak, tetapi tetap saja petuah moralitas itu selalu menghujami tubuhku, menggangu eksistensi pribadiku.

“Gus, keluar dong jangan dikamar mulu, ga baik”, panggil seorang teman.

Ah, sial, batinku. Apa urusan dia jika aku sering berdiam di kamar. Tahu apa dia tentang apa yang kukerjakan sehingga kemudian merasa pantas menilai mana yang baik untuk ku. Ku diamkan saja panggilan temanku itu. Aku lebih memilih melanjutkan khyalanku tentang oposisi biner.

Oposisi biner, ya oposisi biner, seperti yang dilakukan temanku, membedakan mana yang baik dan mana yang tidak, bahkan kemudian mencampuri eksitensi pribadi. Padahal bagiku manusia dewasa layak mempertanyakan ulang perihal kebenaran. Manusia dewasa layak mempertanyakan ulang tentang mitos kecantikan dan ketampanan, tentang yang modern dan tidak, dan segala hal lainnya. Karena manusia dewasa sudah dapat berpikir menggunakan akalnya sehingga kemudian dapat menentukan jalannya sendiri. Karena segala sesuatu yang tampak baik dan buruk hari ini adalah jalinan makna yang dibentuk dalam suatu “perbincangan”, di mana didalamnya terdapat hukum “siapa yang berkuasa dia yang menentukan”

Sangat pantas ketika seorang individu menghancurkan pembeda baik-buruk dalam konteks universal. Sangat pantas ketika seorang individu menciptakan baik-buruk versinya sendiri dengan satu catatan penting tak menggangu eksistensi lainnya.

“Bagus, keluar dong, masa cowok di kamar mulu”, panggil temanku yang rupanya belum menyerah.

“Suka-suka gue kali”, ku jawab itu dengan keras, mengakhiri usahanya membujukku untuk keluar.

Seni dan Sastra

Oleh: Tito Erland S

i suatu malam, saya mengikuti suatu diskusi. Tak disengaja, karena kedatangan saya lebih karena panggilan seorang teman. Setelah di ikuti, ternyata cukup menarik. Temanya tentang sastra dan membahas seorang pengarang.

“Seni adalah untuk keberpihakan”, kata salah satu peserta disukusi. Seni di sini tentu merujuk pula pada sastra.

Pada titik tertentu saya sepakat, pikir saya.

Dia melanjutkan.

“Seni harus di angkat dari realitas sosial”.

Apakah harus seperti itu, pikiran saya mulai memberontak. Lalu bagaimana seandainya saya mau membuat cerita kalau saya bisa terbang? Tidakah itu karya seni juga.

Dia tak mendengar pikiran saya dan terus melanjutkan.

“Seni tak mengapa mengangkat kehidupan privat, semisal cinta, tapi tak pantas di publikan, karena itu masalah privat bukan perkara publik”

Ah, saya mau membantah, tapi nanti saja, masih bingung merangkai kata yang tepat.

Akhirnya peserta lain menanggapi.

“Jadi persolannya adalah industrialisasi terhadap karya yang mengangkat kehidupan publik?”

Yang di debat pun menjawab.

“Bukan tapi persolan privat yang di publikan”.

Diskusi berlanjut. Teman yang satu itu masih tetap dalam pendiriannya, dan saya masih tetap dalam keberdiaman. Diskusi pun melayang pada suatu cerita bahwa seni yang mengangkat kehidupan pribadi ternyata dapat mempengaruhi perilaku. Diceritakan ada penelitian yang menyebutkan, sebagian pelaku bunuh diri mendengarkan lagu putus cinta atau kesedihan sebelum melakukan aksinya. Ada beberapa peserta lain yang menanggapi komentar, dan bola diskusi pun semakin bergulir melindas sub tema kecil lainnya yang terkait. Akhirnya saya pun ikut nimbrung di tengah perbincangan.

“Bagi saya seni adalah kebebasan. Tak harus satu. Tak harus seni itu untuk keberpihakan. Seni itu bebas”. Mungkin terdengar sederhana, tapi itu yang saya yakini.

Saya melanjutkan menanggapi perihal seni yang mempengaruhi perilaku.

“Tak selamanya manusia ditentukan oleh struktur. Manusia mempunyai nalar yang dapat mencerna makna yang terkandung dalam seni. Tidak dapat disimpulkan deterministik seperti itu, bahwa sebagian seni “menentukan” pengaruh buruk pada perilaku. Manusia dapat berpikir dan memilah-milah tindakannya termasuk menikmati dan memaknai suatu karya seni.”

Diskusi berlanjut. Sampai pada akhirnya tak ada suatu kesimpulan karena tiap peserta mempunyai keunikan cara pikir sendiri. Sekitar pukul 00.30 kami membubarkan diri.

Sepeda Motor

Oleh: Tito Erland S

Rasa kaget belumlah hilang, kemudian menjadi bertumpuk ketika menyaksikan reaksi seorang teman. Tubuhnya seolah terpental di terpa terjangan gelombang udara yang merambat dari laju kencang sepeda motor.

“Jantung gw rada lemah To”, kata dia menjelaskan reaksi tadi.

Oh begitu, batin saya.

Lembaran cerita dibuka ketika saya dan seorang teman sedang duduk santai di sebuah bangku panjang, terbuat dari kayu dan sengaja di letakan di muka sebuah warung makan. Saat itu kami sedang menunggu teman lain datang, mau ada rapat katanya, namun tepat pukul 20.30 yang ditunggu belum pula datang. Pun begitu, kami setia menunggu sembari ngarol ngidul bercakap, mengisi kosongnya waktu. Di tengah hangatnya perbincangan, kami melihat sepeda motor yang dilaju dengan kencang dari arah pertigaan lampu merah. Dia memacu gasnya sehingga mengeluarkan kebisingan yang memekakan, membuat saya terkaget dan begitu pula dengan teman saya.

***

Tak sekali, entah sudah kian kali keberapa mata ini menyaksikan tingkah polah serupa. Bak seorang raja, pengendara memacu motornya dengan kecepatan tinggi, seolah jalan miliknya pribadi. Hal tersebut tampaknya sudah menjadi tren pada sebagian kalangan. Pertanyaan muncul di benak saya, mengapa yang demikian dapat terjadi?

Saya pun mencoba meraba-raba mencari jawaban. Asumsi pertama saya adalah pengaruh media. Tayangan media terkadang dapat memberi pengaruh terhadap perilaku. Masih segar dalam ingatan ketika menyaksikan tayangan berita perihal anak kecil yang terluka, tak sengaja dibuat saat mengikuti adegan tayangan gulat yang sempat semarak. Tak hanya satu, tapi beberapa. Menandakan begitu kuat hegemoni media terhadap perilaku manusia. Akhirnya setelah protes muncul, tayangan pun terhenti. Orang tua pun lega, tak terlalu khawatir sang anak akan mengikuti kesalahan “temannya”. Itu hanya satu contoh, yang menggambarkan betapa kuat media membentuk tingkah polah manusia. Di tangannya, hiperealitas yang tersajikan dapat berubah menjadi realitas ketika sampai di wilayah penonton. Yang berlebihan di ikuti karena merasa suatu kenyataaan.

Bisa pula demikian halnya ketika para pengendara yang ngebut terpengaruh media. Sinetron dan film yang menampilkan cerita tentang kebut-kebutan dapat membawa persepsi bahwa yang demikian merupakan sesuatu yang mengasyikan dan mungkin pula sesuatu yang keren. Padahal adegan tersebut tentu dilakukan oleh orang yang sudah ahli dan dipersiapkan semaksimal mungkin agar tak melukai dirinya maupun orang lain. Namun tampak seolah nyata, dan dapat memberi pengaruh pada penontonnya sehingga kemudian mengikutinya.

Begitu pula dengan iklan. Para pengusaha sepeda motor mencoba memasarkan produknya melalui iklan, dimana ditampilkan bahwa produknya dijamin dapat melaju kencang. Pemasaran dengan visualisasi demikian merupakan strategi para pemilik kapital untuk meningkatkan nilai tambah, menjadikan komoditas tanda makin gencar. Pun demikian hal tersebut membawa efek pada konstruksi budaya dimana seperti sinetron dan film, pengendara yang melaju motornya dengan kencang adalah sesuatu hal yang keren dan yang demikian dapat terikuti oleh para audien “pasif”.

Namun tak semua demikian. Tak semua pengendara yang ngebut karena terpengaruh media. Mengutip kata seorang teman “manusia bukanlah matematika”, artinya kurang lebih manusia tak dapat disama ratakan seperti bilangan-bilangan, karena manusia adalah heterogen.

Hal tersebut terkait dengan konsep audien aktif dimana mereka ditempatkan sebagai pencipta makna yang aktif dan memiliki cakrawala pengetahuan yang terbuka lebar, sehingga tak menjadi korban dari teks yang distrukturkan. Artinya audien aktif mengerti perbedaaan tayangan “fiksi” atau tidak. Dengan demikian perilaku ngebut dijalanan, salah satunya karena pilihan rasional dari seorang individu tanpa embel-embel hegemoni media.

Lalu dari mana perilaku itu muncul selain dari pengaruh media? Yang demikian terkait salah satunya dengan persoalan penerimaan sosial. Seorang anak muda yang ingin diterima di suatu komunitas akan berusaha mengikuti pola budaya yang sudah terbentuk di komunitas itu. Begitu pun dengan seseorang yang ingin bergabung dengan komunitas motor yang suka ngebut (dikatakan demikian karena tak semua komunitas motor mempunyai perilaku ngebut), dia akan secara sadar mengikuti kebiasaan yang sudah ada, termasuk mengebut, agar dapat diterima. Rasa penerimaaan, solidaritas, dan citra “keren” membuat seseorang akan mengikuti komunitas seperti itu.

Aparatus Moralitas

Perilaku mengebut di jalan senyatanya menggangu orang lain. Tak jauh, saya misalnya yang terganggu oleh bisingnya suara yang dikeluarkan dari knalpot yang digeber. Belum lagi potensi kecelakaan yang dapat membawa orang lain ikut di dalamnya. Perilaku tersebut menggangu kenyamanan masyarakat.

Menjadi pertanyaan besar, ketika perilaku yang merugikan tersebut tetap eksis sampai saat ini, apakah ada yang salah dari peran “lembaga” yang dianggap sebagai pembawa pesan-pesan moral agar tak merugikan orang lain? Keluarga dan lembaga pendidikan adalah lembaga yang sedikit banyak “ditugasi” untuk memberi pemahaman pada anggotanya tentang perihal tak layak merugikan orang lain. Ketika pada kenyataannya perilaku mengebut di jalan masih tetap ada sampai saat ini, membuktikan sedikit banyak ada peran-peran yang gagal diterapkan pada kedua lembaga tersebut.

Hal ini perlu di benahi, agar tak lagi ada perilaku tersebut. Selain tentunya peran polisi yang harus lebih aktif lagi menjaga ketertiban masyarakat, mengingat “lembaga” tersebut digaji untuk melakukan yang demikian.

Referensi:

Chris Barker. 2005, Cultural Studies; Teori dan Praktik, Kreasi Wacana: Yogyakarta.

Cinta

Oleh: Tito Erland S

Kita jatuh cinta, itu biasa saja…

(“Jatuh Cinta itu Biasa Saja”,

Efek Rumah Kaca)

Hati telah jatuh pada sosok idaman. Begitu menggebu-gebu rasanya. Seakan ada namanya pada setiap nafas yang terhembus. Siang malam terlewat tanpa melewati bayangnya, berusaha mencari celah di lubuknya untuk kemudian memenuhinya. Pancaran wajahnya telah menguasai diri, membuat seakan mampu melakukan segala sesuatu untuk menampakan bukti cinta.

Begitu mungkin rasa jatuh cinta. Penuh gelora, seakan ada api membakar jiwa, pil yang menerbangkan khayal, serta tak luput kehadiran sinar yang membutakan mata. Jatuh cinta terasa begitu indah, tak heran sebagian berharap ketika dirinya mengalami hal demikian akan abadi selamanya, layaknya edelewis yang tak mudah digapai namun tak pernah layu.

Hari-hari terasa begitu indah, menjadi milik berdua, saat sepasang hati insan sudah bertemu. Hari terlewati dalam posisi bercinta. Eluhan nafas, sentuhan lembut, tatapan mesra, kata manis, gurauan penghibur, dan sejuta representasi cinta terwujud dari tempat terdalam lubuk hati.

Semua berjalan layaknya sudah sempurna atau memang demikian adanya, sudah sempurna. Namun akankah kesemuanya mampu melewati ujian waktu, berjalan beriringan selamanya? Mampu mengatasi perbedaan dan membawanya dalam ranah keabadian?

Tak selalu. Perceraian, putus cinta, adalah realitas yang kerap kali ditampakan dalam infotainment, terkomodifikasi menjadi hiper realitas dalam karya estetis tayangan sinetron, bahkan terwujud dalam reality show yang terkadang lebih tepat disebut hyper reality show.

Tak jauh, di sekitar kita atau mungkin kita sendiri pernah mengalami itu. Perceraian maupun putus cinta membuat manusia mengalami keterpisahan. Cinta yang terbangun menjadi hancur berkeping-keping, bahkan tak tersisa. Bagi sebagian, putus cinta maupun perceraian justru wujud dari rasa cinta mendalam, suatu “kearifan” yang sampai saat ini belum saya mengerti.

Mengertinya saya, bahwa keterpisahan hubungan cinta salah satunya diakibatkan kedua insan yang tak mau memahami. Kecilnya permasalahan bisa menjadi besar dengan ego yang ditinggikan. Kejenuhan dan jatuh hati pada yang lainnya juga menjadi penyebab retaknya suatu relasi cinta. Maka wajar ketika Fromm mengatakan “pengalaman jatuh cinta memang sangat mempesonakan dan terasa sangat mendalam, namun makin lama perasaan ini makin dangkal hingga akhirnya berubah menjadi keinginan untuk kembali mendapatkan cinta yang baru, dengan ilusi bahwa cinta yang baru akan berbeda dengan cinta yang sebelumnya”.

Saya pun teringat perkataan seorang teman, bahwa makin lama cinta akan memudar. Teman lain berkata, bahwa setelah menikah cinta semakin menyurut, bahkan dapat hilang, yang tersisa menjadi perekat adalah keberadaan anak. Benarkah? Bisa jadi, namun tak bisa digeneralisir, karena manusia bukan benda yang dapat disamaratakan.

Kenyataan demikian momok bagi sebagian, untuk itu manusia perlu berada pada keadaan tetap berada dalam cinta (standing in love) yang dapat menjadi solusi atas sensasi menggebu-gebu dari falling in love. Standing in love manjadi penting mengatasi sifat kepudaran falling in love. Untuk menjadi demikian maka perlu ada aktifitas saling memberi dan menerima, menghargai, dan yang tak kalah penting adalah tanggung jawab. Kita tak “baik” begitu saja masuk kehidupan seorang manusia, membuainya, lalu meninggalkannya karena mengalami kejenuhan atau lainnya. Ada tanggung jawab dalam cinta yang jika dilaksanakan akan mempertahankan keutuhannya.

Dalam kehidupan nyata saya tahu salah satu contohnya , salah seorang juara dalam urusan standing in love, dialah kekasih saya. Di dadanya cinta itu di simpan rapat, dipertahankan semampu mungkin meskipun aral melintang menghalangi jalan kami. Dia masih dapat berdiri tegak ketika saya hampir terjatuh oleh terpaaan angin badai. Darinya saya belajar, bahwa jika seorang insan harus bertanggung jawab atas segala perbuatannya, termasuk bertanggung jawab telah memasuki kehidupan seseorang dan “membuat“ cinta tumbuh dalam hati seseorang itu. Ah, jika saja ada kontes standing in love, saya akan mendaftarkan kekasih saya sebagai kandidatnya.

Referensi:

Erich Fromm, The Art of Love (Gaya Seni Bercinta), Pradipta Publishing.

Kebenaran?

Oleh: Tito Erland S

Krik..krik.. Suara jangkrik terdengar begitu merdu. Mengiringi obrolan dua orang kawan, Badu dan Rudi. Saat itu mereka berdua sedang bersantai di serambi depan rumah Rudi, menikmati secangkir kopi hangat seraya menikmati udara malam. Mereka membincangkan sesuatu yang tak begitu jelas, keabsurdan, tentang kebenaran.

Badu: Rud, kau tahu apa kebenaran itu?

Rudi: Kebenaran adalah putih lawan dari hitam

Badu: Semutlak itu?

Rudi: Ya

Badu: Tak adakah ungu, hijau, merah atau biru di dalamnya?

Rudi: Sudah kukatakan

Badu: Bagiku sebaliknya

Rudi: Mengapa demikian?

Badu: Karena kebenaran di satu tempat berbeda dengan ditempat lain, kebenaran di suatu waktu juga berbeda dengan waktu lain. Kebenaran terikat ruang dan waktu. Kebenaran adalah relatif. Contohnya telanjang dada di pantai pada sebagian negara bukanlah sesuatu yang salah, berbeda dengan negara lain yang menyalahkannnya, menganggapnya tak bermoral

Rudi: Itu hanya adat istiadat

Badu: Ya, adat istiadat yang memberikan makna yang berbeda-beda pada kebenaran

Rudi: Hmm.. Bagiku kebenaran adalah mutlak, harus murni, tak terjamah oleh otak nakal yang menghancurkannya. Itu semua untuk keteraturan. Contohnya manusia tak boleh berboohong, maka itu harus dipatuhinya

Badu: Oo.. Tak juga menurutku. Itu semua tergantung pemaknaan individu maupun masyarakat. Itu bukanlah sesuatu yang mutlak. Terkadang berbohong itu baik, begini contohnya, jika ada seorang teman yang datang kerumahmu dan berkata dia akan dibunuh oleh orang yang sedang mengejarnya, untuk itu dia sembunyi di dalam rumahmu. Lalu ada tiga orang pria yang datang menanyakan keberadaan temanmu, orang yang mereka cari, apakah kau akan memberi tahunya? Aku pikir tidak, kau akan berbohong mengatakan tidak tahu, di situlah letak bahwa kebenaran relatif. Pada titik itu kebenaran sudah dimaknai melalui kearifan individu

Rudi: Kalau kebenaran itu relatif, bagaimana dengan nasib keteraturan?

Badu: Pada kesepakatan bersama dalam lokus tertentu, bukan secara universal, untuk itu tentu dibutuhkan kearifan. Karena pada dasarnya setiap manusia mempunyai rasionalitas untuk mendefinisikan kebenaran

Rudi: Kearifan?

Badu: Kearifan, bahwa tak boleh mencubit jika tak ingin dicubit

Rudi: Bukankah selama ini begitu? Kebenaran dibuat melalui perwakilan masyarakat?

Badu: Tak juga, nilai kebenaran yang dipakai adalah kebenaran versi penguasa, penuh dengan otoritas kebenaran mutlak. Orientasi seks tertentu yang tak umum, masih dianggap menyimpang, padahal mereka tak mencubit siapapun. Agama yang tak sesuai otoritas kebenaran tak dibiarkan hidup, dianggap sesat, padahal mereka pun tak mencubit yang lain. Ideologi tertentu tak dapat porsi eksistensi. Seharusnya semua hidup dalam harmoni, berdampingan, tanpa harus saling mencubit.

Rudi: Tapi bukankah harus tetap ada nilai universal? Semisal manusia tak boleh menghilangkan nyawa orang lain

Badu: Pada kasus tertentu bisa saja hal itu dibenarkan. Semisal kasus euthanasia yang diperbolehkan di beberapa negara. Itu menunjukan kebenaran tak mutak, tak bisa diterima begitu saja, harus ada rasionalitas yang mendampinginya. Kasus euthanasia diperbolehkan di negara lain karena untuk kepentingan si pasien agar tak tersisa oleh sakit yang diderita. Contoh lain adalah hukuman mati yang dilaksanakan di berbagai negara, karena terdakwa dianggap sudah sangat berat kesalahannya merugikan orang lain.

Rudi: Jadi kebenaran tak mutlak?

Badu: Begitulah. Karena kebenaran seharusnya ditujukan untuk kepentingan manusia bukan untuk memenjarakan manusia

Rudi terdiam, sambil kemudian meminum tegukan terakhir dari cangkirnya. Malam kian ralut. Mata pun mulai memerah. “Kita lanjutkan besok saja, aku sudah ngantuk”, kata Rudi seraya masuk ke dalam rumah yang diikuti oleh Badu yang malam itu menginap di rumahnya.