.

Seni dan Sastra

Oleh: Tito Erland S

i suatu malam, saya mengikuti suatu diskusi. Tak disengaja, karena kedatangan saya lebih karena panggilan seorang teman. Setelah di ikuti, ternyata cukup menarik. Temanya tentang sastra dan membahas seorang pengarang.

“Seni adalah untuk keberpihakan”, kata salah satu peserta disukusi. Seni di sini tentu merujuk pula pada sastra.

Pada titik tertentu saya sepakat, pikir saya.

Dia melanjutkan.

“Seni harus di angkat dari realitas sosial”.

Apakah harus seperti itu, pikiran saya mulai memberontak. Lalu bagaimana seandainya saya mau membuat cerita kalau saya bisa terbang? Tidakah itu karya seni juga.

Dia tak mendengar pikiran saya dan terus melanjutkan.

“Seni tak mengapa mengangkat kehidupan privat, semisal cinta, tapi tak pantas di publikan, karena itu masalah privat bukan perkara publik”

Ah, saya mau membantah, tapi nanti saja, masih bingung merangkai kata yang tepat.

Akhirnya peserta lain menanggapi.

“Jadi persolannya adalah industrialisasi terhadap karya yang mengangkat kehidupan publik?”

Yang di debat pun menjawab.

“Bukan tapi persolan privat yang di publikan”.

Diskusi berlanjut. Teman yang satu itu masih tetap dalam pendiriannya, dan saya masih tetap dalam keberdiaman. Diskusi pun melayang pada suatu cerita bahwa seni yang mengangkat kehidupan pribadi ternyata dapat mempengaruhi perilaku. Diceritakan ada penelitian yang menyebutkan, sebagian pelaku bunuh diri mendengarkan lagu putus cinta atau kesedihan sebelum melakukan aksinya. Ada beberapa peserta lain yang menanggapi komentar, dan bola diskusi pun semakin bergulir melindas sub tema kecil lainnya yang terkait. Akhirnya saya pun ikut nimbrung di tengah perbincangan.

“Bagi saya seni adalah kebebasan. Tak harus satu. Tak harus seni itu untuk keberpihakan. Seni itu bebas”. Mungkin terdengar sederhana, tapi itu yang saya yakini.

Saya melanjutkan menanggapi perihal seni yang mempengaruhi perilaku.

“Tak selamanya manusia ditentukan oleh struktur. Manusia mempunyai nalar yang dapat mencerna makna yang terkandung dalam seni. Tidak dapat disimpulkan deterministik seperti itu, bahwa sebagian seni “menentukan” pengaruh buruk pada perilaku. Manusia dapat berpikir dan memilah-milah tindakannya termasuk menikmati dan memaknai suatu karya seni.”

Diskusi berlanjut. Sampai pada akhirnya tak ada suatu kesimpulan karena tiap peserta mempunyai keunikan cara pikir sendiri. Sekitar pukul 00.30 kami membubarkan diri.

0 komentar: