.

Sepeda Motor

Oleh: Tito Erland S

Rasa kaget belumlah hilang, kemudian menjadi bertumpuk ketika menyaksikan reaksi seorang teman. Tubuhnya seolah terpental di terpa terjangan gelombang udara yang merambat dari laju kencang sepeda motor.

“Jantung gw rada lemah To”, kata dia menjelaskan reaksi tadi.

Oh begitu, batin saya.

Lembaran cerita dibuka ketika saya dan seorang teman sedang duduk santai di sebuah bangku panjang, terbuat dari kayu dan sengaja di letakan di muka sebuah warung makan. Saat itu kami sedang menunggu teman lain datang, mau ada rapat katanya, namun tepat pukul 20.30 yang ditunggu belum pula datang. Pun begitu, kami setia menunggu sembari ngarol ngidul bercakap, mengisi kosongnya waktu. Di tengah hangatnya perbincangan, kami melihat sepeda motor yang dilaju dengan kencang dari arah pertigaan lampu merah. Dia memacu gasnya sehingga mengeluarkan kebisingan yang memekakan, membuat saya terkaget dan begitu pula dengan teman saya.

***

Tak sekali, entah sudah kian kali keberapa mata ini menyaksikan tingkah polah serupa. Bak seorang raja, pengendara memacu motornya dengan kecepatan tinggi, seolah jalan miliknya pribadi. Hal tersebut tampaknya sudah menjadi tren pada sebagian kalangan. Pertanyaan muncul di benak saya, mengapa yang demikian dapat terjadi?

Saya pun mencoba meraba-raba mencari jawaban. Asumsi pertama saya adalah pengaruh media. Tayangan media terkadang dapat memberi pengaruh terhadap perilaku. Masih segar dalam ingatan ketika menyaksikan tayangan berita perihal anak kecil yang terluka, tak sengaja dibuat saat mengikuti adegan tayangan gulat yang sempat semarak. Tak hanya satu, tapi beberapa. Menandakan begitu kuat hegemoni media terhadap perilaku manusia. Akhirnya setelah protes muncul, tayangan pun terhenti. Orang tua pun lega, tak terlalu khawatir sang anak akan mengikuti kesalahan “temannya”. Itu hanya satu contoh, yang menggambarkan betapa kuat media membentuk tingkah polah manusia. Di tangannya, hiperealitas yang tersajikan dapat berubah menjadi realitas ketika sampai di wilayah penonton. Yang berlebihan di ikuti karena merasa suatu kenyataaan.

Bisa pula demikian halnya ketika para pengendara yang ngebut terpengaruh media. Sinetron dan film yang menampilkan cerita tentang kebut-kebutan dapat membawa persepsi bahwa yang demikian merupakan sesuatu yang mengasyikan dan mungkin pula sesuatu yang keren. Padahal adegan tersebut tentu dilakukan oleh orang yang sudah ahli dan dipersiapkan semaksimal mungkin agar tak melukai dirinya maupun orang lain. Namun tampak seolah nyata, dan dapat memberi pengaruh pada penontonnya sehingga kemudian mengikutinya.

Begitu pula dengan iklan. Para pengusaha sepeda motor mencoba memasarkan produknya melalui iklan, dimana ditampilkan bahwa produknya dijamin dapat melaju kencang. Pemasaran dengan visualisasi demikian merupakan strategi para pemilik kapital untuk meningkatkan nilai tambah, menjadikan komoditas tanda makin gencar. Pun demikian hal tersebut membawa efek pada konstruksi budaya dimana seperti sinetron dan film, pengendara yang melaju motornya dengan kencang adalah sesuatu hal yang keren dan yang demikian dapat terikuti oleh para audien “pasif”.

Namun tak semua demikian. Tak semua pengendara yang ngebut karena terpengaruh media. Mengutip kata seorang teman “manusia bukanlah matematika”, artinya kurang lebih manusia tak dapat disama ratakan seperti bilangan-bilangan, karena manusia adalah heterogen.

Hal tersebut terkait dengan konsep audien aktif dimana mereka ditempatkan sebagai pencipta makna yang aktif dan memiliki cakrawala pengetahuan yang terbuka lebar, sehingga tak menjadi korban dari teks yang distrukturkan. Artinya audien aktif mengerti perbedaaan tayangan “fiksi” atau tidak. Dengan demikian perilaku ngebut dijalanan, salah satunya karena pilihan rasional dari seorang individu tanpa embel-embel hegemoni media.

Lalu dari mana perilaku itu muncul selain dari pengaruh media? Yang demikian terkait salah satunya dengan persoalan penerimaan sosial. Seorang anak muda yang ingin diterima di suatu komunitas akan berusaha mengikuti pola budaya yang sudah terbentuk di komunitas itu. Begitu pun dengan seseorang yang ingin bergabung dengan komunitas motor yang suka ngebut (dikatakan demikian karena tak semua komunitas motor mempunyai perilaku ngebut), dia akan secara sadar mengikuti kebiasaan yang sudah ada, termasuk mengebut, agar dapat diterima. Rasa penerimaaan, solidaritas, dan citra “keren” membuat seseorang akan mengikuti komunitas seperti itu.

Aparatus Moralitas

Perilaku mengebut di jalan senyatanya menggangu orang lain. Tak jauh, saya misalnya yang terganggu oleh bisingnya suara yang dikeluarkan dari knalpot yang digeber. Belum lagi potensi kecelakaan yang dapat membawa orang lain ikut di dalamnya. Perilaku tersebut menggangu kenyamanan masyarakat.

Menjadi pertanyaan besar, ketika perilaku yang merugikan tersebut tetap eksis sampai saat ini, apakah ada yang salah dari peran “lembaga” yang dianggap sebagai pembawa pesan-pesan moral agar tak merugikan orang lain? Keluarga dan lembaga pendidikan adalah lembaga yang sedikit banyak “ditugasi” untuk memberi pemahaman pada anggotanya tentang perihal tak layak merugikan orang lain. Ketika pada kenyataannya perilaku mengebut di jalan masih tetap ada sampai saat ini, membuktikan sedikit banyak ada peran-peran yang gagal diterapkan pada kedua lembaga tersebut.

Hal ini perlu di benahi, agar tak lagi ada perilaku tersebut. Selain tentunya peran polisi yang harus lebih aktif lagi menjaga ketertiban masyarakat, mengingat “lembaga” tersebut digaji untuk melakukan yang demikian.

Referensi:

Chris Barker. 2005, Cultural Studies; Teori dan Praktik, Kreasi Wacana: Yogyakarta.

0 komentar: