.

Berkarya dengan Kebebasan Mutlak

Oleh: Tito Erland S

“Terkadang terlalu banyak menoleh membuat kita lemah”

Karya adalah bukti, wujud dari keberadaan manusia. Keberadaan manusia salah satunya dinilai dari produktivitas karyanya, seberapa berapa berkualitaskah karyanya itu dan seberapa banyakkah karyanya itu. Eksistensi manusia hadir lewat hasil produktivitasnya, begitu kata Nietzsche.

Namun terkadang selayaknya manusia, sang pengkarya takut dan khawatir terhadap suatu hal. Takut dan khawatir terhadap hegemoni yang diciptakan negara maupun hegemoni yang dikembangkan masyarakat. Persoalannya menjadi mana yang boleh dan mana yang tidak, mana yang layak dan mana yang tidak.

Hal demikian tentu berkaitan dengan interpretasi, suatu pemaknaan terhadap suatu karya. Tentu interpretasi adalah suatu yang sah dan penting. Namun terkadang interpretasi itu berubah menjadi apriori membabi buta. Tak ada pemahaman mendalam dalam mencerna suatu karya, yang ada hanya stigma, pandangan ideologis, dan prasangka buruk.

Terkadang prasangka-prasangka buruk itu sampai ketelinga sang pengkarya dan terkadang pula membuatnya takut maupun malas berkarya lagi, atau paling tidak merubah orisanilitas karyanya menjadi karya yang sesuai selera khalayak. Sungguh sangat disayangkan jika demikian, maka mungkin peradaban tak berjalan atau berjalan lambat. Untung di dunia ini ada pengkarya-pengkarya yang mau menentang arus, menentang kebenaran yang ada saat mereka berkarya. Mereka mungkin dapat disebut pejuang, pejuang kebenaran versi baru, pendobrak kemapanan, penghancur monokultur.

Saya pun terkadang diliputi kekhwatiran tentang interpretasi orang terhadap karya saya. Saya kadang pun khawatir atas interpretasi orang terdekat saya terhadap karya saya. Terkadang saya khawatir ketika saya menulis cerpen yang menceritakan tentang percintaan, maka orang terdekat saya menduga saya sedang jatuh cinta, padahal itu hanyalah sebuah karya fiksi, yang tak mencerminkan realitas yang sedang saya alami.

Saya mungkin mulai sedikit mengerti, bahwa berkarya seharusnya bebas, bebas dari kekhawatiran, bebas dari ketakutan, bebas dari sensor tajam ideologis. Mungkin yang demikian menjadikan saya atau pengkarya lain dapat menjadi absurd. Namun tak apalah, seperti kata Albert Camus, manusia absurd itu adalah ternyata adalah manusia dengan kebebasan mutlak.

Kebebasan adalah surga, surga untuk berkarya. Dengan kebebasan maka lahirlah banyak karya yang di dalamnya terdapat pemikiran mendalam yang dapat merubah dunia. Dengan kebebasan lahirlah karya Nietzsche, Pramoedya Ananta Toer, dan lainnya, pengkarya yang menantang jamannya. Pengkarya yang bias jadi bagi sebagian orang pada jaman itu dianggap absurd, nyeleneh, seperti yang dilayangkan pada Nietzsche. Namun apa yang dianggap keabsurdan kala itu justru sangat dihargai di kemudian hari. Lalu apakah saya manusia absurd? Entahlah, saya hanya ingin berkarya dengan kebebasan mutlak.

1 komentar:

el-ferda mengatakan...

apakah ada kebebasan mutlak itu? kalau ada, yang seperti apa?