.

Pelangi itu Tak Muncul Lagi

Oleh: Tito Erland S Hujan turun dengan derasnya, mengguyur bumi ini. Alam sedang menangis. Tangisan yang sesungguhnya memberi kehidupan pada tubuh-tubuh yang haus akan airnya. Saat itu sang hujan turun disertai dengan gerak sang angin yang begitu dahsyat. Namun sang angin tak menghancurkan, hanya menggetarkan sanubari yang disapanya. Hanya halilintar yang tampak garang. Dia menyalak-nyalak bak anjing penjaga pintu neraka, semua yang mendengarnya tampak begitu pucat dan memohon perlindungan pada Sang Pengatur mereka semua. Hampir tak ada seorang pun yang berani keluar dari tempat perlindungannya, mereka takut melihat halilintar yang sudah berhasil menghitamkan seorang anak kecil yang terlambat pulang. Hanya diriku yang berani keluar, seakan menantang alam. Para manusia-manusia bijak meneriaki ku, memperingatkan akan kemalangan yang sewaktu-waktu dapat menjemputku. Seorang gadis berkata: “Apa yang kau lakukan wahai pria tampan? Kemanakah letak cairan kebijakan yang selama ini kau agung-agungkan? Apa yang sebenarnya hendak kau cari dan kau buktikan? Tak tahukah kau alam dapat menenggelamkan mu pada lautan kematian dan memberi tangisan pada para manusia yang mencintaimu? Kembalilah ke perlindunganmu” Kuperhatikan wajah gadis itu, sangat cantik dan meneduhkan. Kata-katanya penuh dengan wangi kearifan. Terima kasih, batinku, tapi maaf saja aku tak dapat mengikuti titahmu kali ini. Aku harus mencari sesuatu yang dapat membuatku merasa di dunia keabadian. Ku terus berlari di tengah hujan. Di sebuah tanah lapang, kubentangkan tanganku, berlari memutar-mutar seperti anak kecil yang memerankan dirinya sebagai sebuah pesawat. Halilintar terus menyambar-nyambar. Hampir aku terkenanya. Hanya beberapa inci dari tubuhku, kalau tak sempat menghindar mungkin hitam sudah tubuh ini. Aku melakukan semua hal ini, agar dapat menjadi manusia pertama yang melihat keindahan pelangi. Pelangi memang obsesiku. Keindahannya selalu ku rindukan. Tak ingin aku ada orang lain yang lebih dulu menikmati warna-warni yang keluar dari jembatan surgawi itu. Hujan usai akhirnya. Angin dan halilintar pergi bersamanya. Namun aku tak menemukan apa yang ku cari. Pelangi itu tak muncul kali ini. Dia menghilang, tak sudi menyapaku. Haru biru muncul dalam dadaku. Ku tinju alam, tapi dia tak bergeming. Ku berteriak memanggil pelangi. “Pelangi dimanakah engkau? Tak tahukah aku selalu merindukanmu di kala hujan usai? Aku ingin mencumbumu, menikmati aroma tubuhmu. Ingin aku menikmati keindahanmu lagi. Tak ingatkah kau kala pertama kali kita saling mengenal? Saat itu engkau menyapa ku dengan ramah, menyambutku dengan senyum manismu. Diriku selalu teringat masa itu, masa terindah dalam kehidupanku. Aku ingin mengulang pertemuan itu. Saat dimana kita dapat saling bercanda, tertawa dan bahagia. Sudah terlanjur aku mencintaimu, merindukanmu, dan mendoakanmu dalam setiap hembusan nafasku. Tapi mengapa kau tak memperdulikan rasa ini? Kau bahkan tak lagi sudi tak menyapaku. Pelangi kau menghancurkanku, menghancurkan rajutan cinta yang telah terajut dengan indah untukmu” Pelangi tak mendengarkan ku. Ia tampak tak peduli. Aku pun terpuruk dalam kesedihan mendalam, menangisi kepergiannya. Aku pun berbisik dalam kekhusyukan doa. “Pelangi jikalau engkau tak sudi lagi memperlihatkan keindahanmu di dunia ini, biarlah engkau menemaniku dengan keindahanmu di keabadian kelak”.

Stasiun di Malam Hari

Malam itu bulan bersinar terang, tak bulat memang, tapi tetap s

Oleh: Tito Erland S

Malam itu bulan bersinar terang, tak bulat memang, tapi tetap saja menebarkan sejuta keindahan bagi para manusia yang memandangnya. Bams lalu berceloteh dengan bahasa isyaratnya. Ku coba mengartikannya.

“Cobalah kalian pandangi bulan itu. Perhatikan dengan seksama menggunakan mata batinmu. Kelak kalian akan melihat bulan berjalan dengan langkah bak putri raja”.

Malam itu enam manusia penghirup udara keheningan berkumpul di sebuah tempat yang tak begitu besar namun memberikan sejuta kenyamanan. Suasana di tempat itu terasa tepat dalam menemani kami bercengkrama dan berbagi keceriaan.

Sesekali dari tempat itu terdengar suara hewan baja. Hewan tersebut meraung dengan indahnya, membawa kami untuk memandangnya. Tiap kali sang hewan tersebut berhenti sejenak, para manusia di sekitarnya berlomba untuk menungganginya, takut tak terbagi tempat. Kami menikmati kesemua itu, sambil menyantap obrolan sebagai menu utama kami.

Kala itu, Bams menjadi sosok pembawa obor bagi kami. Dia mencairkan kedinginan dunia malam itu. Sisanya, kelima manusia termasuk aku menjadi laron yang mendekati cahaya karena jenuh akan gelapnya dunia. Namun anehnya api dari obor itu tak membakar sayap-sayap kami, dia hanya menghangatkan tubuh kami. Sungguh ajaib, obor kehidupan yang dibawa oleh Bams.

Bams banyak memberi celoteh pada kami malam itu. Ia berkata padaku

“Kejarlah bintang yang kau puja. Jangan kau termenung saja dibuatnya, hanya berpikir tanpa bertindak sesuatu. Sungguh, itu percuma. Kejarlah ia. Berikan keindahan dunia padanya. Berikanlah sejuta puisi untuk meluluhkannya”

Ah, sungguh kata-kata yang keluar dari tangannya adalah mutiara penyemangat hidup. Kata-katanya ibarat tangan manusia yang mengangkatku dari aliran sungai deras yang dapat menghanyutkan diri ini dalam kebingungan.

Bams pun bercerita kembali, kali ini tentang temanku.

“Sulit bagimu teman. Kau ibarat ladang gersang yang tak ingin dikunjungi oleh bidadari yang lebih senang dengan taman surgawi”

Kami semua tertawa mendengarnya. Aku sendiri tak terlalu menjadikan pedoman setiap kata yang keluar dari isyarat Bams, hanya kujadikan sebagai penghibur dan penyemangatku. Ku harap sahabat ku pun begitu, sehingga tak terpuruk ia karena kata-kata Bams.

Bams seakan tak kehabisan energi. Ia mempertunjukan kecakapannya pada kami yang dibuat terkagum-kagum. Ia menunjukan sebuah atraksi sulap kecil dengan sedikit banyolannya. Kami semua bertepuk tangan lalu tertawa. Dan kemudian senyum bahagia karena diajari triknya. Sungguh baik Bams, mau berbagi ilmu pada kami.

Setiap aliran darah Bams seakan teraliri dengan sel-sel bakat alami. Seolah tak habis-habis kemampuannya untuk dipertunjukan pada kami.

Malam itu, bisa saja tak pernah ada, jika Jay tak pernah menantangku untuk melakukan perjalanan spektakuler. Kami berdua rela menempuh ramainya prasarana transportasi darat dengan mengendarai sepeda untuk kemudian singgah di tempat ini. Tak mudah bagiku yang sudah lama tak mengendarainya, untuk kali sekiannya diri ini hampir terlindas kejamnya produk moderenitas.

Namun usai sampai, terbayar sudah. Segala kelelahan menjadi sirna oleh symphony gelak tawa yang diaransemen oleh Bams.

Malam itu sungguh membawa sejuta pesona. Saat detik-detik dimana kelarutan dan kedinian bertemu, kami bersepakat untuk menyudahi pertemuan berharga itu. Lalu pergi kami masing-masing menuju tempat awal keberangkatan.

Kesepian kota Purwokerto kulalui berempat dengan temanku. Sepeda dan motor kala itu beriringan berjalan bersama membentuk sebuah harmony kehidupan. Sungguh pengalaman indah malam itu tak kan terlupakan bagi ku.

Sosok Ceria di Stasiun

Oleh: Tito Erland S Bams, kau adalah sosok baru dalam hidup ku Kau masuk ke dalam jiwa ini dan membelainya dengan halus Tak sangka secepat itu diri mu mampu menaklukan jarak yang membelah keakraban Sosok dingin ini mampu kau hangatkan dan membuatnya cair bahkan kemudian mengikuti panas yang kau bawa Bams, malam itu mungkin bulan pun iri padamu Pada diri ini kau menunjukan sebagian keindahan yang ada pada mu Dalam diri mu tertanam sejuta potensi Setiap tetes darahmu dialiri oleh bakat abadi Kau meramalku Mengatakan aku harus mengirim bunga pada keindahan yang kupuja Ah, kata mutiara mu itu semakin membuatku bersemangat mengejar mimpi itu Mimpi yang kau baca dari garis-garis kehidupanku Kau bermain sulap Memamerkan kecepatan tanganmu Membuat ku terkagum Membuat ku terheran dan kemudian tertawa karena kau melucu Malam itu kau membawa kecerian Pada ku, Jay, Mas Suroto, Irna, dan Wahyu Terima kasih Bams Semoga kecerianmu abadi

Kematian Sebatang Bunga

Oleh: Tito Erland S
Bunga itu telah mati Aku yang memetiknya Namun biarlah bunga itu tumbuh lagi setelah kematianku Biar dia kembali menghiasi dunia ku dalam keindahan taman abadi

Selembar Puisi Untuknya

Ku sandarkan tubuhku pada sebatang Beringin

Oleh: Tito Erland S

Ku sandarkan tubuhku pada sebatang Beringin. Semilir angin yang mengalir diantara dedaunan menyapa hangat tubuh ku, menemani dalam kegetiran. Sudah sejak tadi aku duduk di sana. Sejak matahari masih di ufuk timur dan sekarang berada tepat di tengah bumi. Aku termenung, memandang ke atas langit biru. Ku melamun, angan ini terbang jauh ke dalam hati seorang wanita. Awan yang kulihat seakan berubah menjadi wajah cantiknya. Semuanya di dunia ini seakan tentang dia.

Orang-orang yang berlalu lalang terkadang memperhatikan kelakuan aneh ku ini. Mereka memasang wajah aneh. Orang itu kenapa ya? Melamun sendiri. Gila kali ya?, mungkin begitu pikiran mereka.

Tapi saat itu tak ingin sedikitpun kupedulikan mereka. Lagipula aku tidak gila. Aku hanya sedang jatuh cinta. Tak pernah kah mereka merasakan jatuh cinta?, batinku. Cinta memang terkadang dapat membuat orang terlihat sangat tidak rasional, karena cinta memang bukan tentang rasional atau tidak rasional. Cinta adalah tentang perasaan.

Saat itu aku hanya mempedulikan cintaku. Hanya memperdulikan dirinya, seorang perempuan yang mampu menggetarkan sanubariku. Dia lah pelangiku, yang hadir ketika hujan usai.

Aku tak habis pikir bagaimana bisa meruntuhkan hatinya. Kala ini hatinya sudah tertambat pada sosok lain, dan itu jelas bukan aku. Asa ku ini menggebu-gebu untuk merebut hatinya, menyelami jiwanya. Bukan karena ingin merusak kebahagiaan hidupnya, tapi karena aku sudah tak tahan lagi menahan anugerah surgawi ini dan ingin berbagi dengannya.

Ku tuliskan puisi untuk dirinya pada sehelai kertas putih.

Untuk Dirimu

Untuk dirimu

Yang kupendam jauh dalam hatiku

Yang kusimpan erat dalam anganku

Aku ingin sekali meraih kunci hatimu

Yang dapat membukakan jalan bagiku untuk dapat masuk dalam jiwamu

Yang dapat membuatku menebar sejuta cinta dalam setiap langkah hidupmu

Akan kutukarkan sejuta istana agar aku bisa meraih kunci itu

Akan ku lakukan segala pintamu agar diri ini dapat mengecup hatimu

Kuserahkan segenap jiwaku agar kau sudi kiranya untuk mencintai ku

Ku jaga baik-baik puisi itu sehingga tak seorang pun dapat merebutnya seandainya terjadi. Ku masukan dalam sekantung kain yang terjahit rapih pada selembar rajutan indah bermotif kotak. Kan kukirimkan puisi itu kepada wanita impianku, berharap dirinya mengerti makna yang tersurat dan tersirat dan membalas dengan hatinya.

Aku lalu pulang. Meninggalkan alam yang sedari tadi setia menemaniku dalam kesepian hidup.

Ku berjalan sendirian di setapak jalan. Teriknya matahari menghujam kulit ini, memerahkannya lalu dari dalamnya keluar butir-butir air kehidupan. Butir-butir air kehidupan itu semakin lama semakin banyak, ribuan atau mungkin jutaan, membasahi sekujur tubuh. Tapi tak begitu menderita dikarenakannya, sebab tertutupi pilunya hati ini.

Di persimpangan jalan ku temui sekotak tempat surat. Ku masukan puisi itu lengkap dengan selembar amplop yang telah tertuliskan alamatnya. Lega hati ini sudah bisa mengirimkan puisi itu.

Ku teruskan perjalan hidup. Selangkah demi selangkah akhirnya sampailah aku di tempat peristirahatan sementara ku, tempat yang sebutulnya tak jauh dari perlindungan kekasih impianku.

Aku pun lalu menunggu. Berharap mendapat balasan darinya, apa pun itu, agar aku bisa melanjutkan hidup.

Bersambung sampai suatu saat nanti ketika sang gadis impian membalas puisi ku

Putaran Roda Nasib

Oleh: Tito Erland S Purwokerto, 14 Oktober 2008. Ketika itu hari sudah sore. Butiran-butiran air hujan sedang asyiknya menghujami bumi yang ku pijak. Sudah sedari tadi hujan ini tak kunjung berhenti, mereka seakan berkomplot untuk menghalangiku menjalankan misi yang sangat penting bagi hidup ku. Tapi ku tak patah asa, ku yakin Sang Pengatur Nasibku hanya sedang menguji kesabaran ku. Dia mungkin ingin melihat seberapa besar niat yang mucul dari dalam hatiku. Benar saja, keyakinan ku tak meleset kala itu, menjelang magrib langit tampak bosan melanjutkan tangisannya. Ah, betapa senangnya hati ini. Aku pun lalu mengirimkan SMS kepada Jay: Alhamdulillah. Alam seolah memahamiku. Hujan tampaknya mengerti aku punya hajat yang sangat penting. Ku tunggu kau kawan baik ku untuk mengantarkan ku ke pelabuhan cintaku. Belum terlalu lama aku mengirimkan sms itu, roda nasib seakan berputar dengan sangat cepat. Putarannya lebih cepat dari kilatan cahaya yang menyambar-nyambar bumi di kala hujan. Putaran yang dapat menghantarkan seseorang kedalam keadaan trance atau bahkan tak sadarkan diri. Perasaan senang yang tadi ku alami sekarang berbanding terbalik menjadi suatu kekhawatiran yang berlebih. Hujan seakan mempermainkanku, mereka meledek ku. Mereka kini turun lagi. Ah sial, batinku. Aku pun sekarang pasrah menunggu keajaiban yang dapat menyingkirkan eksistensi hujan ini untuk sementara. Aku pun lalu mengrimkan SMS pada Jay: Wah, ujan lagi Jay. Kalo ga jadi kesini gapapa. Gw ga enak liat loe keujanan. Lama SMS itu tak dibalasnya. Diri ku ini lalu termenung, mungkin besok saja aku ke tempat tambatan hatiku itu, pikirku. Tit.. tit.. Berapa lama kemudian ponsel ku berbunyi. Oh, rupanya SMS dari Jay. Gw bentar lagi kesitu, tunggu ya, begitu bunyi pesan dari Jay. Saat itu sudah pukul setengah delapan malam. Aku pun menunggu kedatangan Jay sambil berharap-harap cemas. Berbagai macam perasaan berkecamuk di dalam dada ku. Senang, takut, khawatir, kesemuanya itu bercampur menjadi satu. Wajar saja jiakalau aku seperti itu, sebentar lagi aku harus menghadapi peristiwa penting dalam hidupku, berkenalan dengan wanita yang selama ini kupuja. Pukul 20:30. Akhirnya Jay datang juga. “Gapapa nih Jay malam-malam ke kosan cewek? Takut ga enak” “Udah gapapa”, kata Jay. Kami pun berangkat ke tempat si gadis. Jarak yang sebenarnya tak terlalu jauh, ku lalui seakan beratus-ratus kilometer jauhnya. Sampai tibalah akhirnya aku dirumah si gadis. Jay pun lalu berinisiatif untuk mengetuk pintu. Sedangkan aku berdiri mematung, seakan masih tak percaya dengan jalinan nasib yang sebentar lagi akan kulalui. Tok.tok.. Jay mengetuk pintu. “Cari siapa ya?”, seorang gadis berkacamata membukakan pintu. Oh, rupanya temannya. “Ina nya ada”, kata Jay. “Ada. Masuk aja dulu mas” Gadis berkacamata itu pun lalu memanggil Ina. “Ina, ada yang nyari tuh” “Siapa?” suara dari dalam menjawab. “Dari siapa ya mas?”, gadis berkacamata itu lalu bertanya pada kami. “Jay”, jawab teman ku itu. Tak lama kemudian Ina pun keluar menemui kami. Aku lalu diperkenalkan oleh Jay. “Oh ya, kenalin ini teman ku”, kata Jay. Aku memperkenalkan diri sambil tersenyum manis padanya, berharap senyuman itu dapat meruntuhkan dinding tebal yang menjaga hatinya. “Ina”, katanya memperkenalkan diri pada ku. Selanjutnya kami bertiga pun larut dalam obrolan. Sebetulnya hanya mereka berdua, Ina dan Jay, yang lebih banyak mengobrol. Sedangkan aku lebih memilih banyak berdiam diri karena mengikuti anjuran suatu teori cara mendapatkan hati wanita. Dalam teori itu disebutkan kalau pria harus tampak misterius biar si perempuan penasaran. Selain itu aku memilih lebih banyak berdiam diri karena aku tidak mempunyai topik yang akan diobrolkan, maklumlah aku baru kenal dengannya. “Anak Hukum ya?”, kataku menyela pembicaraan mereka, “Aku pernah liat kamu di Hukum”. “Iya, kamu anak Hukum juga?” “Bukan”, jawabku. Aku pun lalu menjelaskan bahwa aku berasal dari fakultas lainnya. “Angkatan 2005 juga?”, katanya. “Bukan 2004” Paska pembicaraan itu, dia banyak bertanya tentang teman-temannya yang satu fakultas dengan ku. Tapi aku tak tau semuanya, hanya berapa nama saja yang aku tau. Kejadian selanjutnya adalah dia lebih banyak berbincang dengan Jay. Aku hanya sesekali nimbrung dalam pembicaraan mereka. Diriku ini lebih banyak memperhatikan wajah nya yang luar biasa cantik itu. Jikalau diibaratkan wajahnya bak bidadari yang sering digambarkan hidup di taman-taman Firdaus. Kulitnya ibarat air surga yang jernih, tanpa noda sedikitpun. Tatapan matanya meneduhkan sekaligus melumerkan hatiku. Sungguh kawan, aku tak pernah melihat wanita lain secantik dia di dunia ini. Tapi kesemuanya itu tentu saja kulakukan secara sembunyi-sembunyi. Aku mencuri-curi kesempatan untuk memandang wajah cantiknya, takut dia memergokiku, tak enak lah nanti jadinya. Pukul 21:00. Jay mengajak ku pulang. “Pulang yuk”. “Ok”, kataku. Kami pun lalu berpamitan pulang. Sebelum pulang aku melemparkan senyum manisku, masih berharap senyum itu dapat meluluhkan hatinya. Sebelum pulang aku dan Jay makan terlebih dulu. Kami makan malam di sebuah warung lesehan. Sambil makan aku menceritakan pada Jay bahwa aku sangat senang malam itu, dapat berjumpa dengan bidadari yang selama ini ada dalam doa-doaku. Selesai makan, aku pulang, sementara Jay lebih memilih untuk ngenet terlebih dahulu. “Thank you ya Jay”, kataku pada akhir perpisahan kami di malam itu.
***
Pagi hari pukul 07:00. Aku mengrimkan SMS pada Ina, berharap dapat lebih dekat mengenalnya. Isi pesanku: Hai Ina. Niy yg kemaren main ke kos kamu, temannya Jay. Salam kenal ya . O iya jangan lupa simpen no ku ya.. hehe.. SMS pun terkirim. Lama tak mendapat jawaban. Aku pun lalu pergi ngenet. Pagi itu aku memang berencana untuk ngenet, ingin mengupload puisi yang semalam aku buat selepas pulang makan malam bersama Jay. Puisi itu ku buat tentang perasaanku yang sangat senang malam itu. Beginilah puisinya:
Sekeping Nasib
Malam ini Sang Pencipta Kehidupan membukakan pintu-pintu surganya. Dari dalamnya tercium aroma semerbak surgawi yang dapat menentramkan jiwa siapapun yang menghirupnya. Dia mendengar, batinku. Sungguh mulia Dia, mau mempertemukan diri ini dengan mimpi-mimpi yang telah lama kurangkai. Syair yang selama ini kulantunkan rupanya telah bermetamorfosis menjadi sebongkah realitas yang dapat kugenggam. Dia Maha Tahu, Maha Mengerti, maka dengan kekuasaanNya diutuslah seorang bidadari untuk menemaniku. Bidadari itu memiliki rupa yang sangat jelita, wajahnya menunjukan kecantikan abadi yang tak kan sirna termakan waktu. Rambutnya yang hitam legam dibiarkannya tergerai, menambah daya magis dalam dirinya. Matanya yang penuh keteduhan sesekali menatapku, semakin membuat hatiku melumer. Sungguh suatu mukjizat aku dapat menatapnya sedekat ini. Malam ini sungguh malam yang sangat indah. Segenap alam seakan mendukungku agar melanjutkan sekeping nasib yang telah ku genggam. Purwokerto, 14 Oktober 2008. Baru selesai diri ini meng upload puisi itu ke blog ku, ponselku berbunyi. Ada pesan singkat, kubaca siapa pengirimnya. Oh, ternyata dari Ina. Senyumku pun langsung merekah. SMS itu lalu kubaca: Niy ma cowoknya Ina. Deg. Aku terkaget. Aku tak menyangka kejadiannya akan seperti ini. Aku memang sudah mengetahui bahwa Ina sudah punya pacar, tapi ku pikir tak ada salahnya aku mengenalnya lebih dekat. Aku berharap Ina sendiri yang menjawabnya, tapi kenyataan berkata lain. Tapi ya sudahlah nasi sudah menjadi bubur. Putaran roda nasib sedikit banyak mampu menjungkirbalikan perasaanku. Tuhan memang Maha Kuasa, Dia dapat membolak-balikan hati seseorang seperti yang Dia kehendaki. Hatiku yang tadinya gembira, dalam sekejap mata berubah menjadi kesedihan yang amat sangat. SMS itu lalu ku balas dengan sopan: Sory, gw cuma temen aja. Maaf. Tak ada balasan. Aku pun merana. Menangisi kasih tak sampai ini. Tapi di balik semua itu, aku tak gentar sedikitpun. Putaran roda nasib saat ini mungkin sedang tidak memihak ku, tapi tak dapat meredupkan api semangatku. Kan ku kejar mimpi itu sampai ke ujung dunia. Aku berjanji pada diri ini, tak kan pernah melepas mimpi itu.

Curhat untuk Sahabatku

Oleh: Tito Erland S Sahabatku dengarkanlah kisah ku dalam menapaki hidup Ini kala aku terjebak dalam benang kusut realitas kehidupan Segumpal daging dalam tubuh ini tertambat pada dua pusat keindahan Aku tak mengerti harus bagaimana menghadapi kesemuanya Bisakah hati terbelah menjadi dua, atau bahkan terpecah menjadi berkeping-keping? Salahkah itu? Dosakah itu?

Cinta Keindahan

Oleh: Tito Erland S Aku mencintainya karena engkau ya Rab Kerena Engkau Maha Indah dan pencinta keindahan Aku mencintainya karena diriMu menganugrahkan keindahan abadi yang terpatri jelas dalam setiap inci tubuhnya Keindahan yang mendekati kesempurnaan keindahanMu Meskipun aku yakin tak satupun yang dapat menyamai keindahanMu Aku tak kan mengkhianati rasa ini ya Rab Karena rasa ini adalah anugerah manis dari Mu Akan ku jaga baik-baik rasa ini Ku masukan dalam kotak hati yang dikawal oleh seribu penjaga Entah sampai kapan Mungkin selamanya Untuk keindahan yang kukenal ketika malam tiba, ketika hujan selesai menyirami bumi ini, ketika aku diperkenalkan keindahan itu oleh sahabatku. Ketika itu 14 Oktober 2008

blog baru

halo semuanya, para pembaca blogku (hehe..kayak ada yang baca). aq ganti blog lg. yg kemaren rusak trus diapus, jadi sekarang ganti, tapi masih pake nama yang sama.tapi ya gitu, tulisannya jadi pada ilang, udah gitu males upload lagi. jadi maklum kalo tulisan di blog baru ini masih dikit. so enjoy my blog...

Sekeping Nasib

Oleh: Tito Erland S Malam ini Sang Pencipta Kehidupan membukakan pintu-pintu surganya. Dari dalamnya tercium aroma semerbak surgawi yang dapat menentramkan jiwa siapapun yang menghirupnya. Dia mendengar, batinku. Sungguh mulia Dia, mau mempertemukan diri ini dengan mimpi-mimpi yang telah lama kurangkai. Syair yang selama ini kulantunkan rupanya telah bermetamorfosis menjadi sebongkah realitas yang dapat kugenggam. Dia Maha Tahu, Maha Mengerti, maka dengan kekuasaanNya diutuslah seorang bidadari untuk menemaniku. Bidadari itu memiliki rupa yang sangat jelita, wajahnya menunjukan kecantikan abadi yang tak kan sirna termakan waktu. Rambutnya yang hitam legam dibiarkannya tergurai, menambah daya magis dalam dirinya. Matanya yang penuh keteduhan sesekali menatapku, semakin membuat hatiku melumer. Sungguh suatu mukjizat aku dapat menatapnya sedekat ini. Malam ini sungguh malam yang sangat indah. Segenap alam seakan mendukungku agar melanjutkan sekeping nasib yang telah ku genggam. Purwokerto, 14 Oktober 2008.