.

Pelangi itu Tak Muncul Lagi

Oleh: Tito Erland S Hujan turun dengan derasnya, mengguyur bumi ini. Alam sedang menangis. Tangisan yang sesungguhnya memberi kehidupan pada tubuh-tubuh yang haus akan airnya. Saat itu sang hujan turun disertai dengan gerak sang angin yang begitu dahsyat. Namun sang angin tak menghancurkan, hanya menggetarkan sanubari yang disapanya. Hanya halilintar yang tampak garang. Dia menyalak-nyalak bak anjing penjaga pintu neraka, semua yang mendengarnya tampak begitu pucat dan memohon perlindungan pada Sang Pengatur mereka semua. Hampir tak ada seorang pun yang berani keluar dari tempat perlindungannya, mereka takut melihat halilintar yang sudah berhasil menghitamkan seorang anak kecil yang terlambat pulang. Hanya diriku yang berani keluar, seakan menantang alam. Para manusia-manusia bijak meneriaki ku, memperingatkan akan kemalangan yang sewaktu-waktu dapat menjemputku. Seorang gadis berkata: “Apa yang kau lakukan wahai pria tampan? Kemanakah letak cairan kebijakan yang selama ini kau agung-agungkan? Apa yang sebenarnya hendak kau cari dan kau buktikan? Tak tahukah kau alam dapat menenggelamkan mu pada lautan kematian dan memberi tangisan pada para manusia yang mencintaimu? Kembalilah ke perlindunganmu” Kuperhatikan wajah gadis itu, sangat cantik dan meneduhkan. Kata-katanya penuh dengan wangi kearifan. Terima kasih, batinku, tapi maaf saja aku tak dapat mengikuti titahmu kali ini. Aku harus mencari sesuatu yang dapat membuatku merasa di dunia keabadian. Ku terus berlari di tengah hujan. Di sebuah tanah lapang, kubentangkan tanganku, berlari memutar-mutar seperti anak kecil yang memerankan dirinya sebagai sebuah pesawat. Halilintar terus menyambar-nyambar. Hampir aku terkenanya. Hanya beberapa inci dari tubuhku, kalau tak sempat menghindar mungkin hitam sudah tubuh ini. Aku melakukan semua hal ini, agar dapat menjadi manusia pertama yang melihat keindahan pelangi. Pelangi memang obsesiku. Keindahannya selalu ku rindukan. Tak ingin aku ada orang lain yang lebih dulu menikmati warna-warni yang keluar dari jembatan surgawi itu. Hujan usai akhirnya. Angin dan halilintar pergi bersamanya. Namun aku tak menemukan apa yang ku cari. Pelangi itu tak muncul kali ini. Dia menghilang, tak sudi menyapaku. Haru biru muncul dalam dadaku. Ku tinju alam, tapi dia tak bergeming. Ku berteriak memanggil pelangi. “Pelangi dimanakah engkau? Tak tahukah aku selalu merindukanmu di kala hujan usai? Aku ingin mencumbumu, menikmati aroma tubuhmu. Ingin aku menikmati keindahanmu lagi. Tak ingatkah kau kala pertama kali kita saling mengenal? Saat itu engkau menyapa ku dengan ramah, menyambutku dengan senyum manismu. Diriku selalu teringat masa itu, masa terindah dalam kehidupanku. Aku ingin mengulang pertemuan itu. Saat dimana kita dapat saling bercanda, tertawa dan bahagia. Sudah terlanjur aku mencintaimu, merindukanmu, dan mendoakanmu dalam setiap hembusan nafasku. Tapi mengapa kau tak memperdulikan rasa ini? Kau bahkan tak lagi sudi tak menyapaku. Pelangi kau menghancurkanku, menghancurkan rajutan cinta yang telah terajut dengan indah untukmu” Pelangi tak mendengarkan ku. Ia tampak tak peduli. Aku pun terpuruk dalam kesedihan mendalam, menangisi kepergiannya. Aku pun berbisik dalam kekhusyukan doa. “Pelangi jikalau engkau tak sudi lagi memperlihatkan keindahanmu di dunia ini, biarlah engkau menemaniku dengan keindahanmu di keabadian kelak”.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

sama2 bang tito! sering liat mukanya di gn. sumbing, baru tau namanya pas di diskusi LS...hehehe. Keren Blognya!