.

Cinta

Oleh: Tito Erland S

Kita jatuh cinta, itu biasa saja…

(“Jatuh Cinta itu Biasa Saja”,

Efek Rumah Kaca)

Hati telah jatuh pada sosok idaman. Begitu menggebu-gebu rasanya. Seakan ada namanya pada setiap nafas yang terhembus. Siang malam terlewat tanpa melewati bayangnya, berusaha mencari celah di lubuknya untuk kemudian memenuhinya. Pancaran wajahnya telah menguasai diri, membuat seakan mampu melakukan segala sesuatu untuk menampakan bukti cinta.

Begitu mungkin rasa jatuh cinta. Penuh gelora, seakan ada api membakar jiwa, pil yang menerbangkan khayal, serta tak luput kehadiran sinar yang membutakan mata. Jatuh cinta terasa begitu indah, tak heran sebagian berharap ketika dirinya mengalami hal demikian akan abadi selamanya, layaknya edelewis yang tak mudah digapai namun tak pernah layu.

Hari-hari terasa begitu indah, menjadi milik berdua, saat sepasang hati insan sudah bertemu. Hari terlewati dalam posisi bercinta. Eluhan nafas, sentuhan lembut, tatapan mesra, kata manis, gurauan penghibur, dan sejuta representasi cinta terwujud dari tempat terdalam lubuk hati.

Semua berjalan layaknya sudah sempurna atau memang demikian adanya, sudah sempurna. Namun akankah kesemuanya mampu melewati ujian waktu, berjalan beriringan selamanya? Mampu mengatasi perbedaan dan membawanya dalam ranah keabadian?

Tak selalu. Perceraian, putus cinta, adalah realitas yang kerap kali ditampakan dalam infotainment, terkomodifikasi menjadi hiper realitas dalam karya estetis tayangan sinetron, bahkan terwujud dalam reality show yang terkadang lebih tepat disebut hyper reality show.

Tak jauh, di sekitar kita atau mungkin kita sendiri pernah mengalami itu. Perceraian maupun putus cinta membuat manusia mengalami keterpisahan. Cinta yang terbangun menjadi hancur berkeping-keping, bahkan tak tersisa. Bagi sebagian, putus cinta maupun perceraian justru wujud dari rasa cinta mendalam, suatu “kearifan” yang sampai saat ini belum saya mengerti.

Mengertinya saya, bahwa keterpisahan hubungan cinta salah satunya diakibatkan kedua insan yang tak mau memahami. Kecilnya permasalahan bisa menjadi besar dengan ego yang ditinggikan. Kejenuhan dan jatuh hati pada yang lainnya juga menjadi penyebab retaknya suatu relasi cinta. Maka wajar ketika Fromm mengatakan “pengalaman jatuh cinta memang sangat mempesonakan dan terasa sangat mendalam, namun makin lama perasaan ini makin dangkal hingga akhirnya berubah menjadi keinginan untuk kembali mendapatkan cinta yang baru, dengan ilusi bahwa cinta yang baru akan berbeda dengan cinta yang sebelumnya”.

Saya pun teringat perkataan seorang teman, bahwa makin lama cinta akan memudar. Teman lain berkata, bahwa setelah menikah cinta semakin menyurut, bahkan dapat hilang, yang tersisa menjadi perekat adalah keberadaan anak. Benarkah? Bisa jadi, namun tak bisa digeneralisir, karena manusia bukan benda yang dapat disamaratakan.

Kenyataan demikian momok bagi sebagian, untuk itu manusia perlu berada pada keadaan tetap berada dalam cinta (standing in love) yang dapat menjadi solusi atas sensasi menggebu-gebu dari falling in love. Standing in love manjadi penting mengatasi sifat kepudaran falling in love. Untuk menjadi demikian maka perlu ada aktifitas saling memberi dan menerima, menghargai, dan yang tak kalah penting adalah tanggung jawab. Kita tak “baik” begitu saja masuk kehidupan seorang manusia, membuainya, lalu meninggalkannya karena mengalami kejenuhan atau lainnya. Ada tanggung jawab dalam cinta yang jika dilaksanakan akan mempertahankan keutuhannya.

Dalam kehidupan nyata saya tahu salah satu contohnya , salah seorang juara dalam urusan standing in love, dialah kekasih saya. Di dadanya cinta itu di simpan rapat, dipertahankan semampu mungkin meskipun aral melintang menghalangi jalan kami. Dia masih dapat berdiri tegak ketika saya hampir terjatuh oleh terpaaan angin badai. Darinya saya belajar, bahwa jika seorang insan harus bertanggung jawab atas segala perbuatannya, termasuk bertanggung jawab telah memasuki kehidupan seseorang dan “membuat“ cinta tumbuh dalam hati seseorang itu. Ah, jika saja ada kontes standing in love, saya akan mendaftarkan kekasih saya sebagai kandidatnya.

Referensi:

Erich Fromm, The Art of Love (Gaya Seni Bercinta), Pradipta Publishing.

3 komentar:

subcomandante ebhy mengatakan...

Cinta gak ada di dunia to, yang ada manifestasi dan persifatan dari Cinta itu sendiri

Mr. Tipz Ringan mengatakan...

Hmmmmmmmmmm.............

Cinta susah diungkapkan dengan kata-kata,......................


hmmmmmmmmmmmmm lagi.......

pena hati mengatakan...

itu template_nya bagus banGGet,,,dari mana???