.

Stasiun di Malam Hari

Malam itu bulan bersinar terang, tak bulat memang, tapi tetap s

Oleh: Tito Erland S

Malam itu bulan bersinar terang, tak bulat memang, tapi tetap saja menebarkan sejuta keindahan bagi para manusia yang memandangnya. Bams lalu berceloteh dengan bahasa isyaratnya. Ku coba mengartikannya.

“Cobalah kalian pandangi bulan itu. Perhatikan dengan seksama menggunakan mata batinmu. Kelak kalian akan melihat bulan berjalan dengan langkah bak putri raja”.

Malam itu enam manusia penghirup udara keheningan berkumpul di sebuah tempat yang tak begitu besar namun memberikan sejuta kenyamanan. Suasana di tempat itu terasa tepat dalam menemani kami bercengkrama dan berbagi keceriaan.

Sesekali dari tempat itu terdengar suara hewan baja. Hewan tersebut meraung dengan indahnya, membawa kami untuk memandangnya. Tiap kali sang hewan tersebut berhenti sejenak, para manusia di sekitarnya berlomba untuk menungganginya, takut tak terbagi tempat. Kami menikmati kesemua itu, sambil menyantap obrolan sebagai menu utama kami.

Kala itu, Bams menjadi sosok pembawa obor bagi kami. Dia mencairkan kedinginan dunia malam itu. Sisanya, kelima manusia termasuk aku menjadi laron yang mendekati cahaya karena jenuh akan gelapnya dunia. Namun anehnya api dari obor itu tak membakar sayap-sayap kami, dia hanya menghangatkan tubuh kami. Sungguh ajaib, obor kehidupan yang dibawa oleh Bams.

Bams banyak memberi celoteh pada kami malam itu. Ia berkata padaku

“Kejarlah bintang yang kau puja. Jangan kau termenung saja dibuatnya, hanya berpikir tanpa bertindak sesuatu. Sungguh, itu percuma. Kejarlah ia. Berikan keindahan dunia padanya. Berikanlah sejuta puisi untuk meluluhkannya”

Ah, sungguh kata-kata yang keluar dari tangannya adalah mutiara penyemangat hidup. Kata-katanya ibarat tangan manusia yang mengangkatku dari aliran sungai deras yang dapat menghanyutkan diri ini dalam kebingungan.

Bams pun bercerita kembali, kali ini tentang temanku.

“Sulit bagimu teman. Kau ibarat ladang gersang yang tak ingin dikunjungi oleh bidadari yang lebih senang dengan taman surgawi”

Kami semua tertawa mendengarnya. Aku sendiri tak terlalu menjadikan pedoman setiap kata yang keluar dari isyarat Bams, hanya kujadikan sebagai penghibur dan penyemangatku. Ku harap sahabat ku pun begitu, sehingga tak terpuruk ia karena kata-kata Bams.

Bams seakan tak kehabisan energi. Ia mempertunjukan kecakapannya pada kami yang dibuat terkagum-kagum. Ia menunjukan sebuah atraksi sulap kecil dengan sedikit banyolannya. Kami semua bertepuk tangan lalu tertawa. Dan kemudian senyum bahagia karena diajari triknya. Sungguh baik Bams, mau berbagi ilmu pada kami.

Setiap aliran darah Bams seakan teraliri dengan sel-sel bakat alami. Seolah tak habis-habis kemampuannya untuk dipertunjukan pada kami.

Malam itu, bisa saja tak pernah ada, jika Jay tak pernah menantangku untuk melakukan perjalanan spektakuler. Kami berdua rela menempuh ramainya prasarana transportasi darat dengan mengendarai sepeda untuk kemudian singgah di tempat ini. Tak mudah bagiku yang sudah lama tak mengendarainya, untuk kali sekiannya diri ini hampir terlindas kejamnya produk moderenitas.

Namun usai sampai, terbayar sudah. Segala kelelahan menjadi sirna oleh symphony gelak tawa yang diaransemen oleh Bams.

Malam itu sungguh membawa sejuta pesona. Saat detik-detik dimana kelarutan dan kedinian bertemu, kami bersepakat untuk menyudahi pertemuan berharga itu. Lalu pergi kami masing-masing menuju tempat awal keberangkatan.

Kesepian kota Purwokerto kulalui berempat dengan temanku. Sepeda dan motor kala itu beriringan berjalan bersama membentuk sebuah harmony kehidupan. Sungguh pengalaman indah malam itu tak kan terlupakan bagi ku.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

gw inget niy...

tp blum, ditulis kayak gini neh...
hehehe

bagus bung!!!