.

Kebenaran?

Oleh: Tito Erland S

Krik..krik.. Suara jangkrik terdengar begitu merdu. Mengiringi obrolan dua orang kawan, Badu dan Rudi. Saat itu mereka berdua sedang bersantai di serambi depan rumah Rudi, menikmati secangkir kopi hangat seraya menikmati udara malam. Mereka membincangkan sesuatu yang tak begitu jelas, keabsurdan, tentang kebenaran.

Badu: Rud, kau tahu apa kebenaran itu?

Rudi: Kebenaran adalah putih lawan dari hitam

Badu: Semutlak itu?

Rudi: Ya

Badu: Tak adakah ungu, hijau, merah atau biru di dalamnya?

Rudi: Sudah kukatakan

Badu: Bagiku sebaliknya

Rudi: Mengapa demikian?

Badu: Karena kebenaran di satu tempat berbeda dengan ditempat lain, kebenaran di suatu waktu juga berbeda dengan waktu lain. Kebenaran terikat ruang dan waktu. Kebenaran adalah relatif. Contohnya telanjang dada di pantai pada sebagian negara bukanlah sesuatu yang salah, berbeda dengan negara lain yang menyalahkannnya, menganggapnya tak bermoral

Rudi: Itu hanya adat istiadat

Badu: Ya, adat istiadat yang memberikan makna yang berbeda-beda pada kebenaran

Rudi: Hmm.. Bagiku kebenaran adalah mutlak, harus murni, tak terjamah oleh otak nakal yang menghancurkannya. Itu semua untuk keteraturan. Contohnya manusia tak boleh berboohong, maka itu harus dipatuhinya

Badu: Oo.. Tak juga menurutku. Itu semua tergantung pemaknaan individu maupun masyarakat. Itu bukanlah sesuatu yang mutlak. Terkadang berbohong itu baik, begini contohnya, jika ada seorang teman yang datang kerumahmu dan berkata dia akan dibunuh oleh orang yang sedang mengejarnya, untuk itu dia sembunyi di dalam rumahmu. Lalu ada tiga orang pria yang datang menanyakan keberadaan temanmu, orang yang mereka cari, apakah kau akan memberi tahunya? Aku pikir tidak, kau akan berbohong mengatakan tidak tahu, di situlah letak bahwa kebenaran relatif. Pada titik itu kebenaran sudah dimaknai melalui kearifan individu

Rudi: Kalau kebenaran itu relatif, bagaimana dengan nasib keteraturan?

Badu: Pada kesepakatan bersama dalam lokus tertentu, bukan secara universal, untuk itu tentu dibutuhkan kearifan. Karena pada dasarnya setiap manusia mempunyai rasionalitas untuk mendefinisikan kebenaran

Rudi: Kearifan?

Badu: Kearifan, bahwa tak boleh mencubit jika tak ingin dicubit

Rudi: Bukankah selama ini begitu? Kebenaran dibuat melalui perwakilan masyarakat?

Badu: Tak juga, nilai kebenaran yang dipakai adalah kebenaran versi penguasa, penuh dengan otoritas kebenaran mutlak. Orientasi seks tertentu yang tak umum, masih dianggap menyimpang, padahal mereka tak mencubit siapapun. Agama yang tak sesuai otoritas kebenaran tak dibiarkan hidup, dianggap sesat, padahal mereka pun tak mencubit yang lain. Ideologi tertentu tak dapat porsi eksistensi. Seharusnya semua hidup dalam harmoni, berdampingan, tanpa harus saling mencubit.

Rudi: Tapi bukankah harus tetap ada nilai universal? Semisal manusia tak boleh menghilangkan nyawa orang lain

Badu: Pada kasus tertentu bisa saja hal itu dibenarkan. Semisal kasus euthanasia yang diperbolehkan di beberapa negara. Itu menunjukan kebenaran tak mutak, tak bisa diterima begitu saja, harus ada rasionalitas yang mendampinginya. Kasus euthanasia diperbolehkan di negara lain karena untuk kepentingan si pasien agar tak tersisa oleh sakit yang diderita. Contoh lain adalah hukuman mati yang dilaksanakan di berbagai negara, karena terdakwa dianggap sudah sangat berat kesalahannya merugikan orang lain.

Rudi: Jadi kebenaran tak mutlak?

Badu: Begitulah. Karena kebenaran seharusnya ditujukan untuk kepentingan manusia bukan untuk memenjarakan manusia

Rudi terdiam, sambil kemudian meminum tegukan terakhir dari cangkirnya. Malam kian ralut. Mata pun mulai memerah. “Kita lanjutkan besok saja, aku sudah ngantuk”, kata Rudi seraya masuk ke dalam rumah yang diikuti oleh Badu yang malam itu menginap di rumahnya.

1 komentar:

pena hati mengatakan...

assalamualaikum mas tito!
salut ! buat karya-karyanya,,gin belum posting lagi puisi. rencananya gin mao ngisi blog sama cerpen,tapi lom kelar. tugas kuliah numpuk Mas! wong Jowo,,hehe