.

Selera Makan

Rasa sakit menggelayut di dinding lambung

Oleh: Tito Erland S

Rasa sakit menggelayut di dinding lambung. Seperti ada ratusan silet didalamnya yang kemudian diterbangkan oleh tornado kecil sehingga memberikan efek sayatan yang memilukan. Saat itu hari sudah hampir habis, tinggal beberapa pukul lagi sudah berganti. Bukan tak sadar dengan rasa perih itu, namun karena bingung ingin memasukan apa untuk meredakannya.

Saat itu sudah hampir pukul sepuluh malam, namun saya belum pula makan, padahal saya menderita maag yang seharusnya tak boleh telat makan. Bukan tak ingin, saya hanya bingung ingin memakan apa. Saya sedang bosan menyantap hidangan yang tersaji di sekitar kosan. Saya malah memilih menghabiskan waktu dengan membaca buku sambil memikirkan akan memakan apa. Pukul sepuluh lewat, saya akhirnya keluar kosan, membeli telur penyet di warung lesehan.

Jika direnungkan hal demikian terjadi karena saya sedang tak berselera untuk makan makanan di sekitar kosan, saya lebih berselera untuk makan makanan yang berbeda dari biasanya. Intinya soal selera.

Selera, khususnya soal makanan, bukan begitu saja turun dari langit. Ada proses sosial dalam pembentukannya. Entah itu kultural maupun struktural.

Proses pembentukan selera manusia sehingga ia lebih menyukai makanan tertentu salah satunya karena faktor lingkungan. Sedari kecil manusia diberi makanan yang serupa sehingga menjadi terbiasa dengan hal itu. Contoh saja seorang manusia yang sedari kecil sudah terbiasa memakan nasi tak kan merasa kenyang jika hanya memakan roti. Begitu pula sebaliknya.

Begitu beranjak dewasa, seorang manusia semakin beragam seleranya, ada yang suka makanan tertentu ada yang tidak. Hal demikian merupakan proses kesadaran individu dalam mencoba makanan yang baru dijumpainya. Saat makanan yang baru itu sesuai dengan harapannya, ia akan mulai menyukainya dan mungkin akan membiasakan untuk memakannya.

Namun rupanya tak melulu lingkungan keluarga dan individu yang membentuk selera manusia, peran struktural juga bermain di dalamnya. Media televisi mempunyai peranan penting di dalamnya. Hegemoni tercipta lewat iklan yang menggiring manusia berpikir bahwa makanan yang enak adalah yang seperti di iklankan. Akhirnya seorang manusia pun dapat memakan makanan yang ada seperti di iklan dan termakan oleh iklan. Proses yang demikian juga pada akhirnya membentuk semacam strata sosial, bahwa pada akhirnya hanya sebagian saja yang “mampu” membeli makanan mewah. Seorang di pedalaman mungkin saja tak pernah berpikir bahwa ia mampu membeli spagheti di restoran mewah. Persoalan selera makan pun pada akhirnya menjadi pembeda sosial, antara yang mampu dan yang tak mampu.

Persoalan selera juga terkait dengan persediaan. Jika di suatu negara persediaan pangan yang melimpah adalah beras maka rakyat pun menjadi semakin terbiasa memakan nasi.

Selera juga tak mudah diubah. Seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa seorang yang biasa makan nasi maka ia lebih senang makan nasi ketimbang makanan pokok lainnya. Persoalan yang demikian membawa ekses pada wilayah politik, maka kemudian lahirlah istilah politik perberasan. Negara akan bingung jika stok beras menipis, sementara rakyat biasa makan nasi. Kekurangan stok beras akan memicu gejolak sosial terutama dari kalangan pekerja, karena jika beras mahal (karena kelangkaan) maka pekerja sangat mungkin untuk menuntut kenaikan gaji agar mampu membeli beras. Hal yang demikian bisa memicu demontrasi di kalangan pekerja. Karenanya pengusaha butuh beras murah disebabkan wataknya yang tak ingin mengurangi keuntungan sehingga kemudian munculah kebijakan impor beras, dan petani lokal lah yang kemudian tidak diuntungkan.

Persoalan “ketergantungan” pada makanan tertentu berusaha diatasi oleh negara kita, salah satunya dengan iklan yang muncul belakangan ini mengenai ada makanan pokok selain nasi, yaitu singkong, ubi, dan jagung. Di iklan tersebut juga disebutkan bahwa memakan makanan tersebut tidaklah menurunkan gengsi. Berhasilkah meyakinkan? Mungkin bagi sebagian kecil, sebagiannya tidak, saya sendiri pun masih lebih suka memilih makan nasi.

Soal selera memang pada akhirnya terkait dengan banyak hal dan sulit diubah. Jika ingin diubah tentu letaknya pada tekad individu. Jika mau, cobalah berpikir “saya lebih suka makan ubi dibanding nasi”, berulang-ulang. Mungkin berhasil membuat anda beralih ke ubi dan mulai meninggalkan nasi.

note: tulisan ini pernah dimuat di http://we-press.com/

1 komentar:

Mr. Tipz Ringan mengatakan...

hMMMMMMM....

Mungkin divariasi-in jenis makanannya........