.

Diana

Empat puluh hari pasca kematian kekasih hatinya, tak lagi pernaOleh: Tito Erland S

Empat puluh hari pasca kematian kekasih hatinya, tak lagi pernah haru biru menggerogoti hati Diana. Hidupnya hampir kembali normal. Tak seperti beberapa hari setelah kejadian itu, bayangan kekasihnya sering muncul menghantui tidur malamnya. Dia selalu takut akan kemunculan sosok kekasihnya, yang seolah-olah hidup dan menuntut kejelasan dari semua peristiwa yang terjadi.

Semua mungkin karena perasaan bersalah yang dideranya. Berawal dari sebuah keributan kecil, tentang keruwetan persimpangan hidup yang harus dipilih, hingga akhirnya berakhir di ujung belati. Kekasihnya mati. Di tangan Diana berlumuran darah pujaan hatinya. Ia benar-benar panik, zat-zat dalam tubuhnya bergejolak sehingga kemudian membentuk reaksi alamiah, sekujur tubuhnya kini dibanjiri dengan cairan hasil pembuangan. Sejenak ia terdiam, lalu menyudutkan dirinya di samping sebuah lemari. Kedua lengannya terangkat menutupi wajahnya. Dari matanya keluar jeritan emosi yang mengalir deras.

“Tidakkkk”

Setengah jam sudah Diana seperti itu. Kehisterisannya menutupi akal sehat. Akhirnya ia sadar, bahwa semua itu harus dibereskan. Tak boleh ada lain manusia yang mengetahuinya. Diana pun bangkit dari keterpurukan, lalu menggenggam kedua kaki kekasihnya, kemudian dengan sekuat tenaga menyeret tubuh itu kehalaman belakang. Dengan cangkul, ia menggali sebidang tanah. Entah mengapa meskipun hal itu tak pernah dilakukan, ia seperti seorang ahli, tak lama kemudian sebuah lubang menganga pun sudah selesai dikreasikan. Ia lalu menyeret tubuh itu ke dalamnya.

“Maafkan aku”, katanya sambil menutupi lubang dengan tanah.

Diana lalu kembali ke ruangan tadi, membersihkan sisa jejak.

Semua sudah berakhir, pikirnya.

Beberapa hari sesudah kejadian itu, Diana takut untuk keluar rumah. Ia takut keluarga sang pria mencari kekasihnya itu. Terlebih lagi jika polisi sudah turun tangan menyelesaikan kasus itu. Tapi sudah dua minggu berlalu, semua tak jadi kenyataan. Entah mengapa sepertinya tak ada yang mengkhawatirkan keadaan kekasihnya itu. Keluarga kekasihnya itu bahkan tak menelepon Diana untuk menanyakan kabar.

Hari ketiga puluh, ia sudah berani keluar rumah. Bayangan wajah tampan kekasihnya tak lagi terlintas dalam kehidupannya. Sampai kemudian semua itu terjadi, hari keempat puluh, saat ruh akan terbang selamanya dari bumi, di sebuah jalan ia melihat kekasihnya itu, lewat di depannya dan seolah begitu nyata.

Ia tampak hidup, batin Diana.

Kekasihnya itu berjalan melewatinya, tapi tak mengenalnya. Tak sedikitpun matanya melirik ke arah Diana. Diana sendiri pun tak berani menatapnya langsung, hanya melihat lewat kedua ujung matanya.

Melihat semuanya itu, Diana tak tahu harus berbuat apa. Ia lalu segera berlari kerumahnya. Di dalam rumah terbayang semua kejadian itu. Perasaan berkemacuk dalam dadanya, antara perasaan takut dan anehnya perasaan senang. Diana lalu meracau sendiri, tertawa keras-keras lalu kemudian menangis. Diana larut kembali dalam memori yang menyiksa jiwa itu.

0 komentar: