.

Selera

Oleh: Tito Erland S

Pernahkah kita melihat fenomena hysteria para gadis berteriak saat ada peluncuran buku puisi atau sastra atau mungkin saat pembacaannya? Mungkin sebagian pernah, tapi saya rasa sangat langka. Bandingkan dengan pertanyaan ini, pernahkah kita melihat hysteria para gadis berteriak saat ada launching album band terkenal atau mungkin saat mereka manggung? Jawabannya, hal itu sudah sering tersuguhkan dalam tayangan live di televisi.

Namun intinya tentu lebih dalam dari sekedar penggambaran sederhana yang saya suguhkan di atas. Kesemuanya adalah tentang apresiasi. Jika tak keberatan, mari kita bandingkan antara jumlah pengunjung sebuah konser musik dengan bincang-bincang membahas buku puisi atau sastra. Bandingkan pula antara betapa seringnya tayangan musik di televisi dan jika mungkin ada dengan tayangan pembacaan puisi. Lalu bandingkan kembali waktu yang ditempuh para sastrawan agar buku yang mereka luncurkan sebelum terkenal menjadi diterima masyarakat dengan band yang baru membuat telur album pertama tapi langsung terkenal. Oh, masih ada bandingkan lagi antara musisi yang (maaf) tak terlalu tampan namun digila-gilai wanita dengan penulis yang tak terlalu tampan yang tak digila-gilai wanita.

Kontras. Itu jawabnya. Tapi di sini bukan untuk menyalahkan selera masyarakat, karena selera adalah hak masing-masing. Tidak juga menyalahkan musisi atau penulis sastra. Saya sendiri penggemar keduanya. Namun yang saya soroti adalah permasalahan industri budaya yang (mungkin) secara tak sadar terdukung oleh sistem pendidikan.

Begini, saya kembali bertanya, pernahkah waktu sekolah kita diajari sastra? Atau diberi pekerjaan rumah agar membaca buku sastra? Seingat saya, sewaktu kecil saya hanya disuruh mengarang cerita, tapi tak terlalu dibahas mendalam. Selebihnya saya hanya diajari tata bahasa Indonesia sampai SMA. Pasca pekerjaan mengarang itu, tak ada lagi yang secara langsung berhubungan dengan sastra, pelajaran bahasa Indonesia lebih cenderung menjadi hapalan yang harus hapal agar mampu tersenyum bangga saat selesai mengerjakan ujian. Mungkin ada kajian teoritiknya, semisal tentang majas, tapi hal itu tak terbahas mendalam, tak diberi penjelasan bagaimana cara menggunakannya dalam penulisan sastra. Hanya diberi penjelasan bahwa (semisal) ada salah satu majas yang bunyinya “ayah ke kantor naik kijang”. Itu saja, sehingga murid kemudian hanya menghapalnya. Saya sendiri baru sadar kalau majas-majas itu ternyata dapat digunakan dalam penulisan sastra.

Menurut hemat saya, hal itu banyak sedikit mempengaruhi selera anak didik. Anak didik lebih terbiasa dengan melihat acara musik yang sering mucul di layar kaca dibanding dengan membaca novel yang tak dibiasakan oleh sistem pendidikan. Namun itu zaman saya SD sampai SMA dulu, entah sekarang.

Kekontrasan semakin dipertegas, dengan pembentukan industri budaya yang dimasifkan lewat layar kaca. Semakin tergiringlah masyarakat pada industri budaya yang tersuguhkan karena lebih mudah di dapat, dibandingkan dengan novel yang jika ingin menikmatinya harus mengeluarkan kocek (atau mungkin pinjam).

Walau begitu yang jelas saya hanya ingin menggambarkan fenomena ini, tak ingin menggiring selera, karena bagi saya jika anda tak menyukai salah satunya, itu tak jadi masalah. Mengutip kata salah seorang teman, “saya cuma punya gelisah tak reda dengan realitas keseharian”

0 komentar: