.

Intrik

Intrik

Oleh: Tito Erland S

Ibarat Scar City, itulah kekuasaan. Menjadi sesuatu yang langka ketika tak dapat diraih semua. Untuk itu perlu perjuangan. Jelas, peraihnya hanya sedikit. Dengan demikian ada semacam kesepakatan sosial di dalamnya, bahwa harus ada yang terkomando, terkoordinasi, atau bahkan tersubordinasi. Kata lainnya ada penguasa dan ada yang dikuasai, ada “ si menang” dan ada “si kalah”.

Tampak menarik sekaligus dapat memuakan ketika ada drama perebutan, pembesaran dan pertahanan. Banyak motif bermunculan dalam rangka ketiganya, motif materi, kepentingan khalayak, atau sekedar gila sensasi karena kekuasaan bagi sebagian orang begitu menyenangkan.

Dalam sesi pertama saja –perebutan- sudah banyak hal yang tak sedap dipandang dan syahdu didengar. Sebut saja contohnya intrik politik dan kampanye hitam. Tak melulu yang demikian terjadi di level makro, pada tingkatan mikro pun kadang terwujud.

Hal demikian terjadi di kampus tetangga saya. Dari cerita teman, saya mendengar, di sana terjadi intrik dan kampanye hitam. Hal demikian terjadi dalam arena perebutan kekuasaan untuk menjadi pemimpin mahasiswa. Intrik terjadi layaknya perang dingin. Teknologi muktahir digunakan untuk melakukan semacam penekanan psikologis pada lawan. Sungguh “canggih”, pada tingkatan kampus sudah seperti itu. Kampanye hitam berbeda lagi modusnya, lewat selebaran yang menjelekan lawan dengan menghembuskan isu bahwa sang lawan mempunyai pemikiran yang nyeleneh.

Intrik dalam politik terjadi karena salah satu kaitannya dengan paradigma sang pelaku. Sang pengintrik dalam dunia perpolitikan bisa jadi mempunyai paradigma bahwa politik dan moralitas adalah dua hal yang terpisah, dengan demikian tak masalah etis atau tidak, yang penting adalah kemenangan. Padahal dalam budaya politik yang sehat, seharusnya cara tersebut tak layak, karena bagaimanapun juga demokrasi mempunyai aturan main dan politik mempunyai etika. Sungguh disayangkan, karena kultur politik yang diharapkan terbangun lebih baik, dicederai dengan hal seperti itu.

Intrik dalam politik sepertinya sudah biasa terjadi, meskipun tak dapat dibilang “benar”, apalagi ditingkatan kampus, hal yang demikian sepertinya menjadi sesuatu yang tak perlu.

Pun demikian dengan kampanye hitam. Tak pantas dipentaskan di arena politik. Tek elok jika kekuasaan dimenangkan dengan jalan menghembuskan isu negatif (apalagi yang berbau SARA dan ideologi) pada pihak lawan.

Pendidikan politik lebih tepat diketengahkan. Pendidikan politik dalam konteks ini yang saya maksudkan adalah memberikan kesadaran pada khalayak tentang fakta dari kepribadian dan track record calon pemimpin. Jadi bukan isu tak bertanggung jawab yang ditebarkan, tapi fakta kebobrokan calon pemimpin dari hasil “penelanjangan”. Hal demikian menjadi tepat karena tentu khalayak tak ingin punya pemimpin yang tak pantas.

Pada akhirnya saya melihat penegasan realitas, bahwa politik seringkali diwarnai dengan penyikutan. Sungguh disayangkan pada tingkatan mahasiswa saja sudah seperti itu, apalagi nanti saat sudah menjadi pemimpin di masyarakat?

0 komentar: