.

Lips Service

Oleh: Tito Erland S

“Saya ini ahlinya”. Ah kata-kata itu begitu manis terdengar. Ingin menunjukan kualifasi diri pada dunia bahwa dia orang yang tepat untuk dipilih. Pengakuan semacam jaminan masalah teratasi dengan keberadaan dirinya. Nasib sedang mujur baginya, terpilihlah dia menjadi pemimpin nomor satu di kota yang bagi sebagian dianggap nomor satu.

Kini alam sedang mengujinya, seolah ingin membuktikan ucapannya. Hujan datang, mengguyur kota itu. Banjir pun melanda. Tak terdengar lagi ucapan percaya diri “saya ini ahlinya”. Ucapannya terbukti tak terbukti. Hanya jadi pemanis kampanye, miskin realisasi. Rakyat menderita, di dera banjir langganan. Sungguh ironis, rakyat bukan hanya berlangganan koran tapi juga berlangganan banjir. Padahal hujan kali ini bukan siklus lima tahunan, tapi tetap saja. Padahal pula, sudah cukup waktu dia memerintah, tapi tak teratasi juga.

Sudah biasa, namun bukan berarti kewajaran, kampanye hanya semacam bagi-bagi bibir manis bagi yang mau dikecup. Sebagian bahkan bagi-bagi uang. Setelah terpilih? Itu tadi, miskin realisasi. Semua jadi seakan mudah terlupakan, mungkin karena rakyat yang pelupa, media pembuat lupa, atau kebijakan yang meniupkan virus lupa. Tapi mungkin juga si pembagi bibir manis itulah yang lupa atau seolah lupa.

Begitulah politik, istilahnya hanya lips service. Dengan dibantu banyak uang, koneksi, dan pandai menggunakan lips service, maka jalan menjadi pemimpin semakin mulus. Tentu tak semua, tapi mungkin hanya sedikit yang tidak.

Kekuasaan memang manis, menarik banyak semut petualang kepadanya. Tengok saja, sudah macam-macam tingkah polahnya. Ada yang tadinya mengaku aktivis tapi kemudian menyerah untuk mengabdi pada sistem bobrok. Ada pula yang haus citra bersih, tapi tak berbuat sesuatu yang kongkrit bagi rakyat, alasannya belum diberi tampuk kekuasaan. Sungguh klise, karena berjuang untuk rakyat tak perlu menunggu kursi nomor satu.

Tak heran banyak yang muak dengan politik. Tak urus, karena tak ada signifikansinya dalam kehidupan, mungkin begitu pikir sebagian orang.

Begitulah politik, penuh warna-warni. Dan saya sendiri mulai jenuh dengan warna-warni itu, untuk itu saya sementara menjadi putih saja. Terserah bagaimana dengan anda.

0 komentar: